Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Ini Risiko Perbankan Hong Kong Jika Patuhi Sanksi AS

Bagi perbankan global, mematuhi aturan sanksi AS tersebut berarti melanggar pasal 29 Undang-Undang Keamanan Nasional Hong Kong yang melarang sanksi, blokade, atau aktivitas bermusuhan terhadap pusat keuangan dan China.
Pengunjung duduk di tepi pantai di Victoria Harbour di distrik Tsim Sha Tsui di Hong Kong pada 29 Januari 2020./ Paul Yeung - Bloomberg
Pengunjung duduk di tepi pantai di Victoria Harbour di distrik Tsim Sha Tsui di Hong Kong pada 29 Januari 2020./ Paul Yeung - Bloomberg

Bisnis.com, JAKARTA - Perbankan global berisiko terjebak di antara hukuman yang didukung China dan sanksi yang diperdebatkan di Amerika Serikat karena otonomi Hong Kong menjadi titik gesekan yang tidak stabil antara kedua negara adidaya tersebut.

Rancangan Undang-Undang (RUU) sanksi Amerika Serikat (AS) terhadap pejabat Hong Kong dan China saat ini sedang menunggu tanda tangan presiden. RUU itu disahkan dengan dukungan bukti veto yang luas di Senat dan DPR.

Bagi perbankan global, mematuhi aturan tersebut berarti melanggar pasal 29 Undang-Undang Keamanan Nasional Hong Kong yang melarang sanksi, blokade, atau aktivitas bermusuhan terhadap pusat keuangan dan China. Melanggar undang-undang membuat perusahaan berisiko terkena denda atau kehilangan izin untuk berbisnis.

"Ada kekhawatiran tentang risiko menjadi sepak bola politik. Kami sedang menasihati sejumlah klien yang prihatin dengan seberapa luas aspek-aspek tertentu dari Undang-Undang Keamanan Nasional dapat ditafsirkan dan bagaimana hal itu dapat berperan dalam implementasi secara umum," kata Tamer Soliman, Kepala Global Praktik Kontrol & Sanksi Ekspor di firma hukum Mayer Brown, dilansir Bloomberg, Selasa (11/8/2020).

Pasal 29 adalah bagian dari paket undang-undang yang diberlakukan oleh Beijing untuk mengekang kritik terhadap aturannya. Undang-undang tersebut mengubah cara keadilan diatur di pusat keuangan dan semakin meningkatkan ketegangan antara AS dan China.

Hong Kong dikembalikan ke China pada tahun 1997 dengan kerangka satu negara dua sistem untuk mempertahankan kebebasan berekspresi, sistem keuangan kapitalis dan peradilan independen selama setidaknya 50 tahun.

Tindakan keras di Hong Kong telah menuai kritik dari Washington, termasuk undang-undang yang memberikan sanksi terhadap lembaga keuangan yang bekerja dengan pejabat China yang ditentukan oleh AS untuk mengganggu otonomi terbatas Hong Kong.

"Ini dirancang untuk menargetkan pejabat di pemerintah China atau orang lain yang berkolaborasi dalam merusak demokrasi di Hong Kong," kata Senator Chris Van Hollen, yang ikut mensponsori RUU tersebut.

RUU tersebut juga akan memberikan sanksi kepada bank mana pun yang melakukan bisnis dengan individu tersebut.

Para bankir dan pengacaranya dari Hong Kong hingga Washington sedang meneliti undang-undang tersebut untuk mencari peluang lolos dari konsekuensi besar. Bank mempertimbangkan cara untuk mengurangi risiko potensi pelanggaran undang-undang keamanan Hong Kong dan bagaimana menerapkan sanksi AS tanpa mengekspos staf di kota, termasuk memiliki entitas lepas pantai.

Bank ritel dan korporasi dengan kehadiran besar di Hong Kong seperti Citigroup dan HSBC dapat lebih terekspos risiko terutama pada transaksi yang cukup besar yang dilakukan melalui unit lokal. Masalah lain yang menyebabkan kekhawatiran di antara bank adalah ketentuan Pasal 29 tentang rahasia negara, yang dapat dilanggar jika mereka memberikan informasi kepada pemerintah asing tentang klien tingkat tinggi.

Bank-bank global sedang meninjau basis klien mereka untuk mengidentifikasi orang-orang yang mungkin terkena sanksi AS dan memeriksa perjanjian untuk memastikan bahwa mereka memiliki klausul yang memungkinkan untuk mencabut nasabah tanpa penalti.

Jika AS memberlakukan RUU-nya, Departemen Luar Negeri memiliki waktu 90 hari untuk mengirimkan laporan tentang apakah ada individu atau perusahaan yang pantas dikenai sanksi. Laporan lembaga keuangan harus diserahkan dalam waktu 60 hari setelah itu. Presiden memiliki kelonggaran untuk menunggu satu tahun sebelum menjatuhkan sanksi.

Otoritas AS juga mempertimbangkan langkah yang akan menghukum bank dan mengguncang mata uang Hong Kong terhadap dolar. HSBC disebut sebagai target spesifik setelah memicu kemarahan Menteri Luar Negeri Mike Pompeo karena mendukung UU Keamanan Nasional Hong Kong.

"Ini adalah bagian dari tren yang lebih luas dari potensi konflik hukum antara sanksi AS dan tindakan penanggulangan potensial China. Ini menempatkan perusahaan yang memandang AS dan China penting untuk bisnis jangka panjang, dalam posisi yang sangat sulit," kata Soliman.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Reni Lestari
Sumber : Bloomberg
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper