Bisnis.com, JAKARTA – Sejumlah kreditor PT Duta Paramindo Sejahtera dalam PKPU mempertanyakan keputusan tim pengurus yang menetapkan tanggal voting atau pemungutan suara rencana perdamaian secara tiba-tiba pada 12 Agustus 2020.
Seperti diketahui, Pengadilan Niaga Jakarta Pusat memutuskan untuk mengabulkan permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang atau PKPU kepada PT Duta Paramindo Sejahtera (DPS) yang merupakan pengembang apartemen Green Pramuka City (GPC). Permohonan itu dikabukan dengan putusan bertanggal 17 Juni 2020 No. 110/Pdt.Sus-PKPU/2020/PN. Niaga,Jkt.Pst di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat.
Permohonan PKPU itu diajukan oleh sejumlah konsumen atau pemilik unit (kreditor) apartemen GPC, yakni Arya Adipurwa dan Indiarti Wulandhari. Putusan PKPU itu terkait dengan belum terlaksananya penyerahan Sertifikat Hak Milik atas Satuan Rumah Susun (SHM SRS).
Nofriyon Nasir, salah satu pemilik unit dan koordinator warga apartemen GPC, mengaku bahwa para pemilik unit baru saja mendapatkan surat undangan untuk pemungutan suara rencana perdamaian tersebut. Surat itu menyatakan bahwa pemungutan suara akan dihelat pada hari Rabu, 12 Agustus 2020.
Padahal, jelas dia, dalam rapat pembahasan perdamaian terakhir, yakni 30 Juli 2020, tak ada informasi itu. Tenggat pemungutan suara rencana perdamaian saat itu masih dijadwalkan pada 28 Agustus 2020.
“Undangan [pemungutan suara rencana perdamaian] yang tanggal 12 Agustus itu tiba-tiba dan bikin kaget. [Dalam rapat rencana perdamaian terakhir] tidak ada sama sekali informasi baru itu.Sampai 28 Agustus pemilik unit disuruh musyawarah, lobi dan lain-lain dengan pengembang,” jelas dia kepada Bisnis, Selasa (11/8/2020).
Dalam salinan dokumen perihal undangan rapat pembahasan rencana perdamaian dan pemungutan suara rencana perdamaian yang diterima Bisnis, terungkap bahwa surat tersebut ditandatangani tim pengurus yakni Carrel Ticualu, Agus Dwiwarsono, dan Hendy Rizki Posma Adil Hasibuan, bertanggal 7 Agustus 2020.
Melalui surat itu, tim pengurus PKPU DPS mengundang para kreditor untuk menghadiri rapat pada 12 Agustus 2020, pukul 08.30 hingga selesai, dengan dua agenda. Pertama, pembahasan rencana perdamaian dan kedua, pemungutan suara rencana perdamaian.
Nofriyon menilai keputusan tim pengurus untuk menyelenggarakan pemungutan suara rencana perdamaian PKPU DPS terlalu terburu-buru. Pasalnya, dia menilai pemungutan suara belum urgen mengingat jangka waktu PKPU masih panjang.
Apalagi, sebut dia, aspirasi para kreditor belum tersampaikan dengan baik dalam sejumlah pertemuan. Alasan lain, kata Nofriyon, adalah proses pembahasan rencana perdamaian belum sempurna antara lain karena tim pengurus belum mendatangkan ahli dari Badan Pertanahan Nasional untuk membahas problem sertifikat yang tertunda itu.
“Kami merasa ini tidak fair dan aneh. Masa hanya mendengar keterangan dari debitur. Harusnya keterangan debitur di-compare dengan penjelasan ahli,” ujarnya.
Sementara itu, salah satu kreditor lain dalam PKPU DPS yang tak ingin disebutkan namanya, juga mengakui bahwa baru saja menerima surat undangan tersebut. Namun, jelas dia, tidak semua kreditor menerima surat undangan itu.
“Itu mendadak surat yang tertanggal 7 Agustus baru diterima para kreditur tadi siang. Itu juga parsial yang menerima,” jelas dia kepada Bisnis.
Dia mengatakan seharusnya saat ini rapat masih membahas proposal perdamaian dari DPS selaku debitur. Para kreditor menginginkan adanya revisi pada sejumlah poin dalam proposal perdamaian yang diakukan debitur dan hingga saat ini belum direalisasikan.
“Sekarang 3 pihak ini, yakni debitur, kreditur, dan pengurus, sebenarnya sedang dalam proses pembahasan isi proposal perdamaian,” ujarnya.
Hingga berita ini diturunkan, Bisnis belum mendapatkan informasi dan keterangan dari tim pengurus. Bisnis berusaha menghubungi pengurus PKPU DPS yakni Carrel Ticualu dan Hendy Rizki Posma Adil Hasibuan melalui aplikasi pesan instan.