Bisnis.com, JAKARTA -- Peneliti mengatakan banyak siswa China takut belajar di Inggris karena khawatir akan tingginya angka kematian akibat pandemi Covid-19.
Beberapa universitas di Inggris khawatir mahasiswa China yang membatalkan kursus di musim gugur dikarenakan tingkat biaya pendidikan.
Berdasarkan penelitian Universitas Manchester menunjukkan bahwa hambatannya bukanlah ketegangan politik, tingkat biaya, atau sistem kursus diajarkan secara online. Namun, yang menjadi pertimbangan justru keamanan untuk bepergian ke Inggris.
Sebagai informasi, pelajar China adalah kontingen pelajar luar negeri terbesar di Inggris, yang bernilai sekitar £ 4 miliar per tahun dalam biaya sekolah dan pengeluaran lain seperti akomodasi.
Universitas-universitas Inggris mengkhawatirkan kerugian finansial yang besar jika pandemi ini secara signifikan memangkas jumlah pelajar China dari 120.000 saat ini, dengan perkiraan pembatalan berkisar antara 12 persen hingga 61 persen.
Nick Hillman, direktur Institut Kebijakan Pendidikan Tinggi telah memperingatkan terkait terlalu mengandalkan siswa China.
"Mereka terkejut oleh angka kematian Inggris, di antara yang tertinggi di dunia," kata para peneliti dari University of Manchester seperti dikutip BBC, Kamis (16/7/2020).
Dia mengatakan dibandingkan dengan berita utama tentang ketegangan politik Huawei dan Hong Kong, orang tua di China lebih peduli tentang keselamatan anak-anak mereka dari virus corona.
Apalagi, lanjutnya banyak media sosial di China yang melaporkan bahwa Inggris tidak mengikuti panduan jarak sosial dan tidak memakai masker.
Selain itu,Peneliti Miguel Antonio Lim mengatakan ada beberapa pertimbangan atau masalah lain yang menjadi pertimbangan mahasiswa China, termasuk kekawatiran serangan rasisme terhadap mahasiswa internasional China.
Selain itu, apabila kuliah dilakukan secara online dapat menghilangkan pengalaman budaya yang lebih luas. Sementara, kekhawatiran yang terakhir adalah tentang akses tes kemahiran bahasa Inggris.
"Bagi banyak orang itu akan menjadi kesempatan sekali seumur hidup untuk tinggal dan belajar di luar negeri, tetapi mereka terkoyak oleh kekhawatiran akan keselamatan mereka dan kualitas pengalaman belajar mereka," kata Lim.
Hal ini tentu saja menjadi kekhawatiran besar bagi universitas. Pasalnya, siswa luar negeri membayar biaya pendidikan lebih tinggi dan sebanyak 35 persen dari semua siswa luar negeri non-UE berasal dari China.
Berdasarkan survei British Council terhadap siswa dari Asia Timur, siswa China adalah yang terbesar. Survei tersebut dapat menunjukan penurunan siswa China sekitar 12 persen.
Sebuah studi dari London Economics memprediksi penurunan 47 persen pendatang baru dari China, yang berarti 14.000 pekerjaan hilang bagi ekonomi Inggris, termasuk 7.000 di universitas.
Risiko keuangan ini, kata para ekonom, akan menjadi yang terbesar dengan konsentrasi tinggi siswa luar negeri di kota-kota seperti Sheffield.
"Kami benar-benar tidak tahu berapa banyak siswa internasional akan datang ke sini musim gugur mendatang," kata Vivienne Stern, direktur Universitas UK Internasional.
"Jika ada penurunan besar itu akan berdampak sangat serius pada keuangan universitas," katanya.
Sementara itu, dilansir Guardian, ekonomi Inggris kembali ke pertumbuhan lebih lambat dari yang diperkirakan pada Mei 2020 menyusul penurunan paling tajam pada catatan sebulan sebelumnya, dipicu oleh pandemi virus corona jenis Covid-19.
Kantor Statistik Nasional (ONS) Inggris mengatakan produk domestik bruto (PDB) tumbuh sebesar 1,8 persen pada Mei 2020 karena ekonomi melakukan pemulihan moderat dari April, ketika PDB turun hingga seperlima selama sebulan penuh pertama setelah penerapan lockdown.
Setelah keruntuhan terbesar dalam aktivitas perekonomian dimulai, para ekonom mengharapkan beberapa pemulihan dalam terjadi pada Mei. Namun, kenyataannya proses kebangkitan kembali lebih lemah dari perkiraan tingkat pertumbuhan 5,5 persen oleh para ekonom.