Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Perjuangan Negeri 1001 Malam di Tengah Pandemi Covid-19

Uzbekistan sudah sejak 1994 mengajukan permohonan untuk masuk ke WTO. Negara pecahan Uni Soviet ini pun tak mau rencanya dihalangi pandemi Covid-19.
Uzbekistan/www.adb.org
Uzbekistan/www.adb.org

Bisnis.com, JAKARTA - Uzbekistan, negara pecahan Uni Soviet di Asia Tengah, tidak mau pandemi virus corona (Covid-19) menghalangi rencananya untuk bergabung dengan Badan Perdagangan Dunia atau WTO.

Perjuangan Uzbekistan tidak semudah negara-negara pecahan Uni Soviet lainnya. Padahal, permohonan masuk ke organisasi multilateral itu telah disodorkan sejak 1994.

Pada Selasa (7/7/2020), WTO menggelar pertemuan dengan pejabat pemerintah Uzbekistan untuk membahas kemajuan negosiasi. Tentu saja, kedua belah pihak bersua secara virtual karena pertemuan tatap muka belum dimungkinkan dalam kondisi pandemi.

Selain langsung ke WTO, Uzbekistan gencar melobi negara-negara mapan anggota organisasi tersebut. Salah satunya adalah Amerika Serikat.

Pada 12 April, Cristopher Wilson, Asisten Perwakilan Dagang AS untuk Asia Selatan dan Tengah, berkomunikasi dengan pejabat Kementerian Investasi dan Perdagangan Luar Negeri Uzbekistan. Menurut UZ Daily, AS bersedia mendukung niat Uzbekistan masuk WTO.

Uzbekistan sendiri tidak kebal dari virus corona. Statistik resmi pemerintah belum menunjukkan tanda-tanda penurunan kasus secara drastis.

Berdasarkan data resmi pemerintah, terdapat 10.838 kasus positif hingga Rabu (8/7/2020). Dari jumlah itu, sebanyak 41 orang meninggal dunia.

Kasus pertama ditemukan otoritas kesehatan setempat pada 15 Maret. Seorang warga Uzbekistan ditemukan positif terpapar virus corona sepulang dari Prancis. Karantina wilayah (lockdown) dimulai di ibu kota negeri itu, Tashkent, pada 24 Maret disusul kemudian oleh provinsi-provinsi lain.

Tentu saja penguncian tersebut memandekkan aktivitas perekonomian. Konsekuensinya, sejumlah perusahaan memilih skema pemutusan hubungan kerja.

Sebelum pandemi, tingkat pengangguran di Uzbekistan sudah cukup tinggi yakni 9,3 persen. Pada Juni, Tashkent Times menyitir Kementerian Tenaga Kerja yang memperkirakan tingkat pengangguran akibat pandemi membengkak menjadi 14-15 persen.

Uzbekistan Hytera
Uzbekistan Hytera

Total 1 juta masker sudah didonasikan oleh Hytera untuk Uzbekistan, Filipina, Thailand, Myanmar, Rusia, Afrika Selatan dan negara-negara lain/Antara/Business Wire

Meski demikian, ekonomi Uzbekistan pada 2020 diyakini tidak sampai di bawah tahun sebelumnya. Bank sentral negara tersebut memproyeksikan produk domestik bruto (PDB) masih bisa tumbuh positif pada kisaran 1,5-2,5 persen. Sebelum pandemi, estimasi pertumbuhan adalah 5,2-5,5 persen.

Guna mengantisipasi dampak wabah, Bank Pembangunan Asia (ADB) mengalokasikan pinjaman senilai US$500 juta kepada Uzbekistan. Menurut ADB, sekitar 80 persen usaha kecil dan menengah (UKM) negeri itu menyetop bisnis sehingga prioritas bantuan ekonomi tertuju pada segmen tersebut.

Kucuran ADB baru separuh dari komitmen Uzbekistan dalam paket stimulus penanganan pandemi senilai US$1 miliar. Dari Bank Dunia, Uzbekistan juga memperoleh US$95 juta.

TINGGALKAN PROTEKSIONISME

Di tengah upaya pemulihan ekonomi, bergabungnya Uzbekistan ke WTO semakin terjustifikasi. Obsesi untuk menjadi anggota WTO sebenarnya sudah mencuat sejak 1994 atau 4 tahun sejak berpisah dari Uni Soviet.

Sayangnya, sejumlah kebijakan negeri itu masih belum kompatibel dengan rezim perdagangan bebas global. Di Uzbekistan, bentuknya mengarah pada proteksionisme seperti pengenaan bea masuk kelewat tinggi dan pembatasan sejumlah produk impor.

Memang, kebijakan proteksionisme negeri berpenduduk 34 juta orang itu tidak selamanya merugikan. Menurut Jamshid Normatov, peneliti University of World Economy and Diplomacy Uzbekistan, dalam artikel ‘Uzbekistan’s Long Way to the World Trade Organization’ (CIFE, 2018), dampak krisis ekonomi 2008 berhasil dipulihkan relatif cepat berkat proteksionisme.

Sesudah melalui masa itu, Uzbekistan menyadari bahwa liberalisasi perdagangan semakin tak terelakkan. Paradigma baru diusung oleh Presiden Shavkat Mirziyoyev setelah menggantikan Islam Karimov yang meninggal pada 2016.

Mirziyoyev mengumumkan reformasi ekonomi skala luas, termasuk bidang perdagangan luar negeri. Bekas perdana menteri itu juga lebih berorientasi kerja sama dengan asing.

Menurut Jamshid Normatov, Uzbekistan telah menghilangkan pembatasan valuta asing sehingga seluruh importir mendapatkan perlakuan sama. Di samping itu, pembatasan untuk eksportir semakin dilonggarkan.

Sumber daya alam masih menjadi andalan ekspor Uzbekistan. Menurut situs Kun.uz, emas berkontribusi 31,9% dari total ekspor senilai US$5,1 miliar sepanjang Januari-Mei 2020. Pada saat yang sama, total impor negara itu sebesar US$7,8 miliar.

Inisiatif-inisiatif Uzbekistan semakin menarik perhatian anggota WTO. AS, misalnya, menjanjikan dukungan sekaligus perbaikan hubungan ekonomi dua negara.

Sampai saat ini, AS masih memasukkan Uzbekistan dalam daftar Amandemen Jackson-Vanik UU Perdagangan 1974. Amandemen Jackson-Vanik berisi sejumlah hambatan dagang terhadap negara-negara yang melarang emigrasi dan melanggar hak asasi manusia.

Semasa Perang Dingin, daftar itu mencakup Uni Soviet. Setelah kekuatan adidaya itu runtuh, negara-negara pecahannya masih tercakup. Rusia saja baru keluar dari daftar Amandemen Jackson-Vanik pada Desember 2012 ketika sudah bergabung dengan WTO pada Agustus tahun yang sama.

Uzbekistan National News Agency memberitakan lobi revisi Amandemen Jackson-Vanik berlangsung secara daring pada awal Juni. Legislator kedua negara bersua sebagai bagian dari Uzbekistan–American Inter-Parliamentary Cooperation.

JALUR SUTRA

Bergabungnya Uzbekistan ke dalam mata rantai perdagangan dunia bak mengulang kisah masa lampau. Ribuan tahun silam, tanah Uzbekistan merupakan bagian tak terpisahkan dari Jalur Sutra. 

Para pedagang China membawa barang kepada pembeli di tepi Laut Mediterania dengan menjadikan wilayah yang kini dinamakan Uzbekistan sebagai tempat transit.

Dari China, penjual sutra—dan barang lain seperti keramik dan teh—bergerak dalam karavan menaiki kuda atau unta. Perjalanan tidak mudah tentu saja. Selain harus menempuh perjalanan jauh, para perompak pun mengintai di tengah jalan.

Morris Rossabi dalam artikel ‘Geography Along The Silk Roads’ di buku Essays—From Silk to Oil menyebutkan bahwa para pedagang China harus melalui gurun, gunung, dan sungai. Di tengah perjalanan, tibalah mereka di Samarkand dan Bukhara.

Di dua kota itu, mereka tidak hanya singgah, tetapi turut berdagang dengan penduduk setempat. Samarkand dan Bukhara, yang kini menjadi bagian Uzbekistan, adalah kota kuno yang sudah berdiri di masa kejayaan peradaban Yunani dan Persia.

Perjalanan dari Beijing ke Samarkand ditempuh kira-kira selama 6 bulan. Setelah itu, pedagang meneruskan ekspedisi hingga ke Damaskus atau bahkan masih berlanjut sampai ke Konstantinopel.

Samarkand dan Bukhara berganti-ganti jatuh ke dalam genggaman kekhalifahan Islam seperti Umayah, Abbasyah, dan Samaniyah. Ahli hadis Imam Bukhari (810-870) lahir di Bukhara dan dimakamkan di Samarkand.

Tingginya peradaban Samarkand dan Bukhara masa lampau dapat ditengok di bidang sastra. Hikayat populer Seribu Satu Malam memasukkan dua kota itu dalam bagian cerita.

Dengan sejarah panjang dan perjuangan tanpa lelah, patut ditunggu bagaimana Uzbekistan akhirnya bisa bergabung dengan WTO. Yang pasti, negara ini tidak mau pandemi virus corona (Covid-19) menghalangi rencananya itu.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper