Bisnis.com, JAKARTA - Pemerintah memutuskan untuk meniadakan ibadah haji 2020. Jika pelaksanaan haji digelar tahun ini, petugas dan jemaah membutuhkan persiapan lebih termasuk karantina dan tes Covid-19.
Menteri Agama Fachrul Razi mengatakan apabila pelaksanaan ibadah haji dilakukan, petugas tidak lagi memiliki waktu cukup untuk mempersiapkan berbagai keperluan seperti visa, akomodasi dan layanan perlindungan.
Selain itu, petugas harus mempersiapkan kesehatan jemaah dimulai dari karantina 14 hari sebelum masuk ke asrama haji, 14 hari karantina saat di Saudi termasuk harus mengikuti tes kesehatan.
Jemaah juga dipertimbangkan untuk menggunakan maskapai dengan pembatasan jumlah kursi, sehingga memerlukan lebih banyak penerbangan. Belum lagi potensi pembatasan jarak fisik saat menjalankan rukun haji turut menjadi pertimbangan.
Kondisi ini berpengaruh pada waktu pelaksanaan haji yang akan lebih panjang. Padahal rencana awal keberangkatan kloter pertama jemaah asal Indonesia dimulai pada 26 Juni atau sekitar 24 hari lagi.
“Akses layanan [haji] dari Saudi hingga saat ini belum ada kejelasan kapan mulai dibuka,” katanya saat konferensi virtual, Selasa (2/6/2020).
Baca Juga
"Jika jemaah haji dipaksakan berangkat, ada risiko amat besar yaitu menyangkut keselamatan jiwa dan kesulitan ibadah. Meski dipaksakan pun tidak mungkin karena Arab Saudi tak kunjung membuka akses," tuturnya.
Dirjen Perjalanan Haji dan Umrah Nizar menuturkan pemerintah tidak dapat memberangkatkan para jemaah, walaupun hanya 50 persen dari total 221.000 orang.
Kata dia, pada dasarnya di tengah pandemi saat ini terdapat risiko saat pelaksanaan ibadah yaitu penularan virus. Kendati memilih usia lebih muda untuk diberangkatkan, potensi penularan tetap ada.
“Belum lagi panjangnya waktu tes Covid-19 saat masuk asrama haji, saat di Saudi di tes lagi termasuk ada karantina 14 hari. Makanya kami ambil keputusan yang paling kecil risikonya yaitu tidak memberangkatkan jemaah haji,” ujarnya.