Bisnis.com, JAKARTA - Sebanyak 28 juta operasi pelayanan nonvirus corona atau Covid-19 terancam batal akibat pandemi. Hal ini akan memperburuk kondisi kesehatan yang menambah beban masalah sosial.
Dilansir dari laman World Economic Forum, Rabu (27/5/2020), studi yang dilakukan oleh CovidSurg Collaborative menunjukkan dampak pandemi Covid-19 telah membuat tumpukan jadwal operasi yang harus tertunda.
Sebanyak 28 juta jadwal operasi elektif (operasi terjadwal bukan karena keadaan darurat) harus dibatalkan atau ditunda. Angka ini bakal lebih buruk jika lockdown terus berlanjut.
Berdasarkan data dari 359 rumah sakit di 71 negara, peneliti CovidSurg Collaborative yang bekerja sama dengan University of Birmingham menemukan bahwa terdapat 2.367.050 operasi per pekan yang diprediksi dibatalkan selama 12 pekan di 190 negara.
Adapun di Indonesia sendiri, prediksinya mencapai 31.050 jadwal operasi. Adapun negara dengan kemungkinan jadwal operasi yang batal terbanyak adalah China sebanyak 326.177 dan Amerika Serikat sebanyak 343.670.
Sebelumnya, PBB telah memperingatkan bahwa pelayanan proses persalinan dan program edukasi vaksin bakal terganggu.
Baca Juga
“Membatalkan operasi elektif akan menimbulkan dampak substansial dan kumulatif pada pasien serta dapat menghancurkan sistem kesehatan dunia,” kata Aneel Bhangu, ahli bedah dan pengajar di University of Birmingham.
Dalam riset ini, sebagian besar pembatalan terdiri dari operasi penyakit jinak. Secara global, 81,7 persen dari operasi jinak, 37,7 persen dari operasi kanker, dan 25,4 persen dari operasi caesar elektif.
Operasi seperti ortopedi, bedah plastik, kandungan, serta bedah kepala dan leher menjadi kelompok operasi dengan kemungkinan dibatalkan paling tinggi.
Riset ini juga memprediksi, butuh waktu 45 minggu untuk menyelesaikan jadwal operasi yang tertunda dengan kondisi negara meningkatkan volume kapasitas operasi mereka sebesar 20 persen.
“Menunda operasi yang waktunya sensitif seperti kanker atau transplantasi dapat memperburuk kondisi kesehatan dan kualitas hidup, dan menyebabkan kematian yang tidak perlu,” ujarnya.
Riset lain yaitu Journal of the Royal Society of Medicine yang dipublikasi oleh UK NHS menunjukkan kondisi ini dapat menyebabkan masyarakat yang terpinggirkan bakal menghadapi gap layanan kesehatan yang lebih buruk.
Apalagi departemen darurat di rumah sakit seringkali digunakan oleh orang-orang yang rentan seperti tunawisma dan para migran.
Di saat yang sama, social distancing telah mengubah layanan konsultasi kesehatan dilakukan melalui online, di mana mereka yang terpinggirkan kesulitan mengaksesnya.
Para peneliti CovidSurg Collaborative meminta pemerintah mengatur strategi untuk pemulihan pascapandemi dan mengembalikan jadwal operasi ke kondisi normal.
“Risiko menunda pengobatan penyakit jinak akan menyebabkan penurunan kondisi individu, meningkatkan potensi disabilitas dan mengurangi kemampuan mereka bekerja. Ini akan menimbulkan biaya sosial yang besar,” seperti dikutip dari penelitian.