Bisnis.com, JAKARTA - China akan mengusulkan undang-undang keamanan nasional untuk Hong Kong sebagai tanggapan atas protes kelompok pro-demokrasi tahun lalu sehingga menjerumuskan kota itu ke dalam gejolak terburuk sejak kembali ke pemerintahan China pada 1997.
Menurut kantor berita Xinhua, Parlemen China akan membahas undang-undang baru yang kontroversial itu pada sidang tahunan.
“Langkah itu diperkirakan akan memicu kerusuhan di wilayah semi-otonom tersebut. Undang-undang itu akan diperkenalkan pada pertemuan Kongres Rakyat Nasional yang dibuka pada hari ini,” seperti dikutip Aljazeera.com, Jumat (22/5).
Xinhua menyatakan pertemuan persiapan untuk sesi sidang parlemen China mengadopsi agenda yang mencakup item untuk meninjau RUU tentang membangun dan meningkatkan sistem hukum dan mekanisme penegakan hukum untuk Wilayah Administratif Khusus Hong Kong demi menjaga keamanan nasional.
Sementara itu, surat kabar South China Morning Post, sebagaimana mengutip sumber yang tidak disebutkan namanya, menyatakan undang-undang itu akan melarang pemisahan diri dan campur tangan asing. Begitu juga dengan terorisme dan semua kegiatan provokasi yang bertujuan menggulingkan pemerintah pusat dan segala gangguan eksternal di bekas jajahan Inggris tersebut.
Koresponden Aljazeera, Katrina Yu mengatakan bahwa undang-undang tersebut menandakan Beijing akan menangani sendiri kerusuhan politik di Hong Kong yang memicu hampir setahun protes intermiten dimulai pada Juni 2019.
Protes-protes itu pada awalnya sebagai tanggapan terhadap RUU ekstradisi yang diperkenalkan di badan legislatif Hong Kong yang akan memungkinkan Beijing untuk mengekstradisi individu-individu yang dituduh dikirim ke China daratan untuk diadili. RUU itu macet dan kemudian ditarik.
"Apa yang akan terjadi, seperti yang kita pahami, [parlemen China] akan membuat amendemen terhadap hukum dasar, yang merupakan mini-konstitusi Hong Kong. Pemerintah China akan menggunakan pintu belakang hukum yang pada dasarnya memungkinkannya untuk melewati proses legislatif yang biasa di Hong Kong," Kata Yu.