Bisnis.com, JAKARTA — Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mencatat sebanyak 297 pelaku tindak pidana korupsi berdasarkan jabatan pada periode 2004—2019 berasal dari swasta.
“Ini merupakan peringkat tertinggi dalam kurun waktu tersebut, dan itu artinya pencegahan korupsi dalam korporasi harus betul-betul dilakukan dan dimulai dengan adanya suatu komitmen atas nilai antikorupsi,” jelas Direktur Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat KPK Giri Suprapdiono, dikutip Selasa (12/5/2020).
Menurut dia, nilai itu wajib diwujudkan dalam suatu komitmen tertulis yang diprakarsai oleh jajaran atas atau manajemen puncak korporasi seperti pemilik, direksi, dan komisaris.
Selain komitmen manajemen puncak, imbuhnya, korporasi harus mewajibkan seluruh pegawai membuat dan/atau menandatangani surat pernyataan tidak melakukan aktivitas terkait dengan kecurangan, korupsi, dan pencucian uang.
Tak hanya itu, asosiasi usaha juga harus mendorong komitmen dan kebijakan antikorupsi agar diterapkan di korporasi-korporasi yang dinaunginya.
Menurut dia, sektor swasta harus membuat terobosan melakukan pencegahan korupsi dalam menjalankan bisnisnya. Banyak korporasi mengakui bisnis yang berintegritas tanpa suap adalah bisnis yang baik dan dapat memberikan insentif bagi korporasi.
Namun, lanjut Giri, masih ada kekhawatiran korporasi kehilangan peluang bisnis apabila tidak membayar suap pada proses pemenangan tender atau pemberian izin usaha. “Ini membuat persaingan usaha tidak kompetitif masih kerap muncul,” katanya.
Giri menjelaskan, perusahaan atau korporasi tentu harus mematuhi hal tersebut, tak hanya PerMA bahkan sejumlah aturan menjadi garda terdepan untuk mewujudkan integritas dan permainan bisnis yang sehat dalam dunia usaha.
United Nation Convention Against Corruption (UNCAC) adalah salah satunya, perjanjian ini pun telah diratifikasi Indonesia melalui UU Nomor 7 Tahun 2006, kemudian ada pula UU KPK No. 19/2019 pada pasal 7 huruf c, d, e; tentang Pendidikan, Kampanye, dan Sosialisasi.