Bisnis.com, JAKARTA – Program asimilasi dan integrasi narapidana ditengah pandemi virus corona (Covid-19) dinilai sudah tepat. Meski demikian, aspek komunikasi terkait kebijakan ini masih perlu diperbaiki guna menghindari anggapan-anggapan negatif.
Hal tersebut diungkapkan Dosen Politeknik Ilmu Pemasyarakatan (Poltekip) dan Pengamat Pemasyarakatan Dindin Sudirman dalam acara diskusi online Pandemi Covid-19 dan Asimilasi Narapidana pada Rabu (6/5/2020).
Dindin mengatakan, program asimilasi dan integrasi narapidana merupakan langkah yang tepat. Pasalnya, kondisi lapas di Indonesia yang mengalami kelebihan penghuni (overcrowding) akan meningkatkan risiko penyebaran virus di lingkungan tersebut.
Potensi tersebut juga akan meningkatkan tingkat kecemasan dan ketakutan penghuni lapas terhadap penyebaran virus. Hal ini berpotensi besar menimbulkan kericuhan atau keributan di lingkungan lapas yang berujung pada tindakan kerusuhan.
“Ditambah lagi, virus ini juga dapat disebarkan dari orang yang tidak memiliki gejala sakit. Apabila kebijakan ini tidak dilakukan, lapas berpotensi menjadi ladang pembunuhan untuk warganya, baik tahanan ataupun orang-orang yang bekerja,” jelasnya.
Pemberlakuan kebijakan ini, lanjutnya, juga memperlihatkan kehadiran negara kepada seluruh warganya, baik umum maupun penghuni lapas. Program ini menandakan pemerintah melindungi hak asasi penduduknya meskipun pernah melakukan perbuatan melanggar hukum.
Baca Juga
“Pemberlakuannya juga sudah sesuai dengan hukum yang berlaku. Ke depannya, kebijakan ini perlu dilanjutkan dengan melakukan evaluasi yang menyeluruh agar dapat lebih efektif,” katanya.
Di sisi lain, kebijakan asimilasi dan integrasi narapidana masih dihadapkan pada beberapa kendala, salah satunya adalah persepsi publik terhadap dunia pemasyarakatan.
Kriminolog Leopold Sudaryono menyatakan, saat ini masyarakat Indonesia masih menganggap para pelaku kejahatan dimasukkan ke dalam lapas untuk dihukum seberat-beratnya hingga kembali ke masyarakat.
Padahal, tujuan kehadiran lapas adalah untuk membina para narapidana agar siap kembali terintegrasi dalam kehidupan bermasyarakat. Sentimen negatif tersebut, lanjutnya, berdampak pada munculnya ketakutan masyarakat dan kabar-kabar palsu (hoaks) terkait program ini.
“Konsep hukuman di lapas bagi kebanyakan masyarakat masih cukup kasar. Mereka (narapidana) dimasukkan ke dalam lapas untuk dihukum seberat-beratnya dengan menggunakan penderitaan,” jelasnya.
Hal tersebut diamini oleh Kriminolog FISIP UI Iqrak Sulhin. Menurutnya, saat ini Ditjen Pemasyarakatan dinilai belum melakukan komunikasi terkait kriteria penilaian yang dilakukan lapas sebelum melakukan pembebasan napi. Selain itu, mereka juga belum menjelaskan dengan lengkap proses pengawasan dan bimbingan yang dilakukan oleh Ditjen Pemasyarakatan kepada narapidana yang masuk dalam program ini.
Untuk itu, ia menyarankan pihak berwenang untuk menjelaskan dengan komprehensif terkait kedua hal tersebut kepada masyarakat luas. Perbaikan mekanisme penilaian sesuai dengan ketentuan revitalisasi pemasyarakatan juga perlu dilakukan untuk mengurangi tingkat residivisme narapidana.
“Penjelasan ke masyarakat juga termasuk bagaimana teknis pengawasan online yang selama ini dibicarakan, skenario mitigasi masalah-masalah yang akan muncul, dan koordinasi dengan pihak-pihak lain seperti kepolisian,” jelasnya.
Sementara itu, Dirjen Pemasyarakatan Reinhard Silitonga juga mengakui adanya masalah komunikasi terkait program ini. Hal ini membuat opini publik kepada kebijakan ini terbelah dua, antara positif dan negatif.
Guna mengatasi hal tersebut, ia mengatakan pihaknya akan melakukan manajemen informasi yang lebih efisien. Ditjen Pemasyarakatan mengupayakan untuk melakukan verifikasi informasi dengan cepat terkait kabar-kabar yang beredar di media sosial ataupun berita-berita.
“Informasi yang negatif itu akan kami verifikasi dengan cepat agar dapat memberikan kejelasan terhadap kabar-kabar yang bereda. Perbaikan ini memang perlu dilakukan untuk mengurangi persepti kurang baik,” pungkasnya.