Bisnis.com, JAKARTA -- Perusahaan energi dan petrokimia asal Belanda Royal Dutch Shell Plc memotong dividen untuk pertama kalinya sejak Perang Dunia Kedua.
Kemerosotan harga minyak yang dipicu oleh pandemi virus corona telah membentuk kembali industri energi.
Dilansir melalui Bloomberg, langkah mengejutkan ini adalah gambaran terbaru tentang bagaimana penyebaran global penyakit mematikan ini menyebabkan pergolakan terbesar selama beberapa generasi.
Konsumsi energi mengalami penurunan bersejarah, sama halnya pertumbuhan produk domestik bruto di banyak negara.
Shell sejauh ini merupakan perusahaan pembayar dividen terbesar di FTSE-100, memberikan pendapatan yang dapat diandalkan untuk jutaan investor dana pensiun.
Analis Redburn Stuart Joyner menggarisbawahi prospek suram untuk tahun ini, bahwa pengurangan dua pertiga dalam dividen menjadi 16 sen per saham, jauh lebih buruk daripada yang diinginkan atau diharapkan banyak investor.
Baca Juga
"Ini tentu saja adalah saat yang sulit, tetapi di sisi lain juga merupakan momen yang tak terhindarkan. Kami telah mengatur ulang dividen kami ke tingkat yang kami yakini terjangkau," kata CEO Shell Ben van Beurden, dikutip melalui Bloomberg, Kamis (30/4/2020).
Menurutnya, pandemi akan menciptakan sebuah perubahan yang akan bertahan lama pada konsumsi energi dunia dan sulit untuk mengatakan apakah permintaan minyak akan kembali ke level yang sama pada 2019.
Memangkas dividen Shell adalah perubahan signifikan untuk van Beurden. Sebelumnya, tiga bulan yang lalu dia memuji dividen tinggi sebagai daya tarik utama bagi pemegang saham dan mengatakan dia tidak akan memotongnya.
"Saya pikir menurunkan dividen bukan hal yang baik untuk menarik jika Anda ingin menjadi berinvestasi kelas dunia. Jadi, kami tidak akan melakukan itu," kata CEO Shell itu pada 30 Januari.
Dividen Shell yang atraktif, sebesar 10 persen telah turun menjadi 3,8 persen atau setara dengan perusahaan pengecer yang kesulitan untuk menarik perhatian pemegang saham.
Saham Shell kategori B turun sebanyak 8,3 persen dan 5,6 persen lebih rendah pada 1.370 pence pada pukul 9:35 di London.
Menurut van Beurden, Shell mengambil keputusan ini karena perusahaan sedang berada di tengah ketidakpastian terkait konsumsi dan harga energi serta viabilitas asetnya.
Penghasilan yang lemah dalam tiga bulan pertama tahun ini diperkirakan akan berlanjut di kuartal kedua yang lebih sulit karena lockdown di seluruh dunia menyebabkan penurunan permintaan secara historis.
Shell memperingatkan bahwa kilang dan pabrik kimianya mungkin hanya akan beroperasi sekitar 70 persen dari kapasitas dan produksi hulu migas dapat turun sebanyak sepertiga.
BP Plc dan Eni SpA telah melaporkan penurunan besar dalam laba dan meningkatnya tekanan finansial.
Sementara itu, Exxon Mobil Corp telah membekukan dividen untuk pertama kalinya dalam 13 tahun dan Equinor ASA Norwegia yang memotong pembayaran dividen.
"Ini adalah situasi normal yang baru. Shell Shell terlihat bersiap untuk penurunan yang berkepanjangan dan ingin mempertahankan kesehatan keuangannya,” kata analis RBC Biraj Borkhataria.
Dia menambahkan, dalam jangka panjang, ini bisa dilihat sebagai langkah positif yang memungkinkan Shell agar lebih mudah melakukan pivot saat transisi penggunaan energi berlangsung dan tidak terikat dengan kewajiban dividen hingga US$15 miliar setiap tahun.