Bisnis.com, JAKARTA - Banyak cara yang bisa dilakukan untuk membuang kejenuhan selama masa pembatasan sosial untuk memutus rantai penyebaran virus corona (Covid-19) diberlakukan.
Salah satunya adalah dengan mengakses berbagai karya cipta seperti lagu, film, dan buku sebagai penghiburan untuk mengisi waktu selama di rumah.
Sayangnya, sebagian orang memilih mencari dan menyebarkan karya ciptaan tersebut secara ilegal sehingga melanggar hak kekayaan intelektual (HKI), seperti yang terjadi beberapa waktu lalu, marak di grup-grup WhatsApp mengedarkan buku elektronik (e-book) berformat pdf tanpa sepengetahuan para penciptanya.
Kepala Subdirektorat Pelayanan Hukum Direktorat Hak Cipta, Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) Agung Damarsasongko menyatakan hal itu dinilai telah menimbulkan keresahan di kalangan pencipta. Pasalnya, untuk menghasilkan karya tulis, penulis membutuhkan waktu dan proses yang tidak mudah.
“Ketika buku sampai ke tangan pembaca, maka buku tersebut telah melibatkan banyak orang, mulai dari penulisnya, editor, ilustrator, desainer, percetakan, distributor, dan kemudian dijual di toko buku atau secara daring. Semua itu merupakan proses yang dilalui untuk melahirkan satu buku,” ujarnya, Senin (20/4/2020).
Selain tidak menghargai karya orang lain, lanjutnya, saat membaca buku bajakan pelaku juga telah memutus rezeki bukan hanya untuk penulisnya saja, tetapi juga termasuk orang-orang yang terlibat tadi.
Baca Juga
Bila melihat kepada Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (UUHC) Pasal 40 ayat (1) huruf a, disebutkan bahwa buku dan semua karya tulis lainnya adalah ciptaan yang dilindungi. E-book sebagai karya tulis juga termasuk ciptaan yang dilindungi, yang pelindungan hak ciptanya sama dengan buku yang dicetak.
Melihat fenomena tersebut, Agung menyatakan tindakan tersebut merupakan pelanggaran baru di era digital sekarang. “Ya sebetulnya kalau terkait dengan digital, memang sebenarnya ada beberapa bentuk pelanggaran baru yang disebut dengan indirect infringement,” ungkapnya.
Dia menjelaskan, indirect infringemen adalah pelanggaran secara tidak langsung. Jadi pelanggar secara tidak langsung biasanya melakukannya secara sembunyi-sembunyi dan mendistribusikan antara teman dengan teman.
“Kadang-kadang dia minta uang lebih dahulu, nanti kamu saya kasih deh copy-annya, tapi kamu ganti uang saya sebagai pengganti usaha saya men-scan buku tersebut. Atau ada yang mengemasnya dengan menjual buku-buku itu ke dalam bentuk flashdisk,” jelasnya.
Menurutnya, peredaran e-book di jejaring grup WhatApp dapat dikatakan ilegal apabila seseorang menggandakan dan menyebarkannya tanpa adanya izin dari pencipta maupun pemegang hak cipta. Namun, jika pdf tersebut merupakan bonus buku dari pembelian buku cetak misalnya, maka pdf itu tergolong legal.
“Dikatakan ilegal adalah kalau dia mengambil buku-buku tadi terus kemudian dia jual dan didistribusikan melalui jaringan digital atau melalui jaringan internet, nah itu baru bisa dikatakan pelanggaran,” tuturnya.
Ancaman dari pelanggaran tersebut adalah pidana, karena di dalam UU Hal Cipta dijelaskan mengenai adanya hak ekonomi dari seseorang atau pemegang hak cipta itu, dan adanya pendistribusian dalam bentuk yang sifatnya elektronik maupun non-elektronik.
“Jadi bisa menjual secara online atau menjual mendistribusikan secara WhatsApp ke WhatsApp atau mungkin dikirim melalui email. Tentunya ada nilai komersialnya yang diberikan, bisa dikatakan pelanggaran,” paparnya.
Hal tersebut sesuai dengan Pasal 9 ayat (2) UUHC yang menyebutkan bahwa Setiap Orang yang melaksanakan hak ekonomi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mendapatkan izin Pencipta atau Pemegang Hak Cipta. Termasuk penerbitan Ciptaan, pendistribusian Ciptaan atau salinannya, dan penggandaan Ciptaan dalam segala bentuknya.
Agung menghimbau kepada masyarakat untuk berhati-hati ketika mendapatkan edaran buku-buku e-book supaya tidak melanggar hak cipta, serta memperhatikan dampak yang ditimbulkan apabila mendapatkan buku secara ilegal.
Masyarakat, kata dia, mesti memastikan buku-buku tersebut adalah buku-buku yang memang bebas diakses. Ketika ada penawaran-penawaran buku gratis, menurutnya, masyarakat perlu memperhatikan terlebih dahulu, apakah buku tersebut sudah menjadi public domain atau memang boleh dibagikan secara gratis seperti buku-buku yang tergabung di dalam creative commons sepanjang tidak merubah nama pencipta ataupun isinya.
“Artinya untuk menghargai pencipta buku atau pemegang hak, kita tentunya harus memiliki komitmen untuk mendapatkan buku-buku yang secara legal,” imbaunya.
Tentunya, kata dia, dalam penegakan hukumnya juga harus ada keaktifan dari pencipta maupun penerbit untuk melaporkan kepada pihak yang berwenang atau pihak berwajib bila mendapati pelanggaran hak cipta. Aduan tersebut bisa disampaikan kepada DJKI Kemenkumham melalui Direktorat Penyidikan dan Penyelesaian Sengketa KI ataupun pihak Kepolisian.
Sejauh ini, beberapa seniman dan penulis telah memberikan izin agar karya mereka dapat digunakan secara gratis. Seperti diberitakan, penulis J.K Rowling telah mengizinkan guru menggunakan audio book Harry Potter untuk didengarkan secara gratis sampai Juli 2020.
Sementara itu, banyak artis Indonesia maupun luar negeri yang telah melakukan konser dari rumah untuk menggalang donasi atau sekadar hiburan bagi mereka yang membutuhkan.