Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Pandemi COVID-19 Bukan Force Majeure, Simak Penjelasan Pakar Hukum

Presiden Joko Widodo beberapa waktu lalu mengeluarkan Keppres No.12/2020 tentang tentang Penetapan Bencana non-alam Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) sebagai Bencana Nasional.
Ilustrasi virus corona/Antara-Shutterstock
Ilustrasi virus corona/Antara-Shutterstock

Bisnis.com, JAKARTA - Presiden Joko Widodo beberapa waktu lalu mengeluarkan Keppres No.12/2020 tentang tentang Penetapan Bencana non-alam Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) sebagai Bencana Nasional.

Keppres ini pun menimbulkan polemik terkait dengan legitimasi force majeure. Sejumlah pihak menyebut Keppres ini jadi legitimasi bahwa pandemi COVID-19 adalah force majeure sehingga membuat perjanjian hukum maupun kontrak jadi lebih fleksibel, bahkan bisa batal tanpa denda.

Namun hal tersebut langsung dibantah oleh Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Mahfud MD. Menurut Mahfud, Keppres No.12/2020 tidak bisa jadi legitimasi force majeure untuk membatalkan perjanjian hukum maupun kontrak.

Pakar Hukum Tata Negara Refly Harun sependapat dengan Mahfud. Menurut dia, tebritnya Keppres ini tidak serta merta menjadi dasar legitimasi COVID-19 sebagai kondisi force majeure.

Dia mengatakan pandemi COVID-19 tidak masuk dalam unsur-unsur force majeure. Pasalnya COVID-19 tidak datang secara tiba-tiba, seperti halnya gempa bumi, tsunami, atau bencana alam lainnya.

"Tidak seperti bencana alam yang langsung hancur begitu, tapi Ini gradual dan sebenarnya bisa diantisipasi, kemudian bisa melakukan proteksi, dan sebagainya, walaupun tidak jaminan kita enggak kena. Kalau terkait kontrak-kontrak saya sepakat dengan Pak Mahfud enggak bisa ini forcre majeure," kata Refly kepada Bisnis, Rabu (15/4/2020).

Menurut Refly, dalam konteks COVID-19, para pihak maupun objek perjanjiannya tidak serta merta hilang, seperti halnya yang terjadi dalam bencana alam. Atas dasar itu, menurut dia, pandemi COVID-19 tidak bisa dijadikan alasan force majeure untuk membatalkan kontrak.

"Itu menurut pendapat saya, tidak masuk kecuali tsunami atau bencana yang menyapu objek perjanjian. Contoh kita kredit rumah tiba-tiba rumah disapu tsunami itu kondisinya force majeure. Ini tidak terjadi secara suddenly," ujarnya.

Menurut dia, hal yang bisa dilakukan terkait perjanjian hukum atau kontrak di situasi bencana nasional non alam ini, adalah renegosiasi. Dia mengatakan para pihak bisa melakukan renegosiasi dan itu termasuk dalam kebebasan kontrak.

"Itu tadi kita bisa melakukan aktivitas, bisa melakukan renegosiasi, objeknya perjanjiannya tidak hilang, pihak yang membuat perjanjiannya masih ada," ucap Refly.

Sebelumnya, Menurut Ketua Umum Asosiasi pengusaha Indonesia (APINDO) Hariyadi Sukamdani, keluarnya Keppres tersebut berimplikasi terhadap perjanjian hukum dan kontrak.

Hal itu lantaran, para pihak tengah diterpa force majeur, dalam hal ini kondisi bencana nasional pandemi COVID-19. Hariyadi menilai perjanjian hukum maupun kontrak menjadi lebih fleksibel bagi para pihak.

Berdasarkan Kitab Undang-undang Hukum Perdata terdapat sejumlah pasal yang membahas soal force majeur yakni Pasal 1244 dan Pasal 1245.

Berdasarkan Pasal 1244 KUH Perdata Debitur harus dihukum untuk mengganti biaya, kerugian dan bunga bila ia tak dapat membuktikan bahwa tidak dilaksanakannya perikatan itu atau tidak tepatnya waktu dalam melaksanakan perikatan itu disebabkan oleh sesuatu hal yang tak terduga, yang tak dapat dipertanggungkan kepadanya walaupun tidak ada itikad buruk kepadanya.

Kemudian, Pasal 1245 KUH Perdata berbunyi, tidak ada penggantian biaya, kerugian dan bunga bila karena keadaan memaksa atau karena hal yang terjadi secara kebetulan, debitur terhalang untuk memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau melakukan suatu perbuatan yang terlarang baginya.

Terdapat sejumlah unsur utama yang membuat sebuah kondisi dianggap sebagai force majeur. Pertama adanya kejadian tidak terduga, kedua halangan yang menyebabkan suatu prestasi tidak mungkin dilaksanakan, ketiga Ketidakmampuan tersebut tidak disebabkan oleh kesalahan debitur, dan keempat ketidakmampuan tersebut tidak dapat dibebankan risiko kepada debitur.

Akibat luasnya kemungkinan keadaan atau situasi force majeur, para pihak yang terlibat dalam suatu perjanjian hukum atau kontrak biasanya mencantumkan klausul dengan daftar peristiwa yang dapat menjadi force majeur dalam perjanjian mereka. Hal ini guna mendapat kepastian hukum.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Editor : Nurbaiti

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper