Bisnis.com, JAKARTA – Penyedia aplikasi konferensi video, Zoom Video Communications Inc., dituduh oleh pemegang saham menyembunyikan celah keamanan yang masih terbuka setelah ledakan penggunaan di seluruh dunia.
Dalam sebuah surat pengaduan yang diajukan di pengadilan federal San Francisco, Selasa (7/4/2020) pemegang saham menuduh perusahaan dan pejabat tingginya menyembunyikan kebenaran mengenai kekurangan dalam enkripsi aplikasi, termasuk dugaan kerentantna terhadap peretas, serta pengungkapan informasi pribadi secara ilegal kepada pihak ketiga termasuk Facebook Inc.
Investor Michael Drieu, yang mengajukan gugatan class action tersebut, mengklaim bahwa serangkaian penemuan publik mengenai kelemahan aplikasi tersebut sejak tahun lalu telah membuat harga saham Zoom merosot.
Meskipun demikian, saham Zoom masih naik 67 persen tahun ini karena investor bertaruh bahwa perusahaan telekonferensi akan menjadi salah satu yang diuntungkan dari pandemi virus corona.
Sejumlah perusahaan dan lembaga-lembaga di dunia mulai melarang penggunaan Zoom, mulai dari SpaceX dan Tesla Inc. hingga Departemen Pendidikan New York City. Terakhir, Taiwan melarang penggunaan oleh instansi pemerintah.
CEO Zoom Eric Yuan menanggapi temuan tersebut dan meminta maaf atas kesalahan meminta maaf atas penyimpangan tersebut dalam sebuah posting blog minggu lalu.
Baca Juga
Peneliti cybersecurity memperingatkan bahwa peretas dapat mengeksploitasi kelemahan keamanan dalam perangkat lunak untuk menyadap pertemuan atau mengakses file rahasia.
Teknologi enkripsi yang lemah telah memunculkan fenomena "Zoombombing", yang menyebabkan pelaku mendapatkan akses ke konferensi video untuk melecehkan peserta lain. Rekaman pertemuan juga muncul di server internet publik.
Citizen Lab mengatakan dalam sebuah laporan minggu lalu bahwa perusahaan juga merutekan data melalui server di China dan menggunakan pengembang di sana.
"Penyerapan cepat platform telekonferensi seperti Zoom, tanpa pemeriksaan yang layak, berpotensi membahayakan rahasia dagang, rahasia negara, dan pembela hak asasi manusia," tulis para peneliti di Citizen Lab University of Toronto, seperti dikutip Bloomberg.