Bisnis.com, JAKARTA - Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) menyayangkan terbitnya instruksi Kapolri yang dinilai memberangus kebebasan berekspresi dan kritik terhadap pejabat pemerintah atas nama penindakan terhadap ujaran kebencian dan berita bohong (hoax).
Pasalnya, instruksi tersebut justru menegaskan sikap anti-kritik yang mengarah pada otoritarianisme negara dalam merespon keluhan dan keresahan publik di tengah carut-marut penanganan pandemi virus corona jenis baru atau Covid-19 oleh pemerintah.
Seperti diketahui Mabes Polri belum lama ini mengeluarkan Surat Telegram Polri No: ST/1100/IV/HUK.71./2020 yang ditujukan kepada Kabareskrim dan setiap Kapolda sebagai bentuk pedoman menangani tindak pidana pada ranah siber selama masa pandemi Covid-19.
Beberapa tindakan kejahatan yang menjadi fokus pada surat telegram tersebut adalah terkait penyebaran berita bohong/hoaks dan penghinaan kepada Presiden/ Pejabat Pemerintah mengenai situasi Covid-19. Selain itu, Kapolri menginstruksikan kepada jajarannya untuk melaksanakan patroli siber dan melakukan penegakan hukum secara tegas apabila ditemukan aktivitas penyebaran berita bohong dan penghinaan tersebut.
Kegiatan penyebaran berita bohong dalam surat telegram tersebut merujuk pada pasal 14 dan pasal 15 UU No. 1 Tahun 1946 Tentang Peraturan Hukum Pidana. Segala bentuk penyebaran berita bohong memang sangat meresahkan dan perlu ditindak secara tegas, namun dengan menggunakan kedua pasal tersebut sebagai acuan dinilai sangat tidak tepat.
"Hal tersebut dikarenakan tidak jelasnya ukuran dan definisi dari berita bohong dalam ketentuan kedua pasal tersebut. Kesalahan penerapan pasal tersebut tentunya berpotensi menggerus hak untuk mengemukakan pendapat dan menyampaikan informasi sebagaimana dijamin oleh pasal 28 F UUD 1945," demikian pernyataan resmi dari LBH Pers, ICJR, dan AJI yang diterima oleh Bisnis pada Selasa (7/4/2020).
Baca Juga
Lebih lanjut, dijelaskan bahwa ketentuan tindak pidana penghinaan kepada presiden serta pejabat publik dalam surat telegram tersebut berpotensi disalahgunakan. Pasal 207 KUHP yang menjadi acuan, dikhawatirkan dapat membelenggu kebebasan menyampaikan pendapat dalam bentuk kritik terhadap Pemerintah. Hal tersebut tentunya menjadi sebuah ancaman kepada setiap orang yang menyampaikan pernyataan kritis mengenai penanggulangan Covid-19 oleh pemerintah.
"Perlu menjadi catatan penting bahwa penerapan pasal 207 KUHP berdasarkan pertimbangan dalam putusan MK No: 013-022/PUU-IV/2006 adalah sebagai delik aduan. Sehingga tanpa adanya pengaduan secara personal dari pihak Pejabat tersebut, maka pihak Kepolisian sebagai pihak yang bersifat imparsial tentunya tidak dapat memproses berita tersebut lebih lanjut," jelasnya.
Dengan berubahnya delik menjadi delik aduan, maka pasal ini hanya berlaku pada konten-konten yang bersifat personal bukan lagi martabat secara institusi. Maka kritik atas kinerja pejabat publik tidak bisa dikategorikan ke dalam pasal 207 KUHP.
Terhadap situasi pandemi yang sedang dihadapi saat ini, membuat ketersediaan dan transparansi informasi terkait penanggulangan serta pencegahan pandemi Covid–19 menjadi sangat penting.
Surat telegram tersebut menginstruksikan pelaksanaan patroli siber kepada setiap opini yang dianggap menyebarkan berita bohong. Namun, adanya instruksi tersebut, alih-alih memberantas berita bohong, justru malah berpotensi menghambat segala bentuk penyampaian informasi penting dan berimbang kepada publik.
Oleh karena itu, LBH Pers, ICJR, dan AJI mendesak pihak kepolisian untuk meninjau ulang dan membatalkan instruksi patroli siber dan penegakan hukum terkait opini yang dianggap berita bohong dan berita dengan muatan penghinaan terhadap presiden atau pejabat pemerintahan
"[Kami] meminta pihak kepolisian untuk tetap bekerja secara profesional dalam melakukan fungsi dan tugasnya sebagai aparat Penegak Hukum tanpa terpengaruh pada tendensi politik manapun. Mengedepankan prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia dan Due Process of Law dalam melaksanakan fungsi dan tugasnya pada masa pandemi Covid-19," tutupnya.