Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Dampak COVID-19, Aksi Buyback Diperkirakan Menyusut

Menurunnya profit, berkurangnya kapasitas untuk menerbitkan utang dengan imbal hasil tinggi guna membiayai pembelian saham, dan keengganan pemerintah memberikan stimulus bagi perusahaan membuat upaya buyback akan menyusut.
Ilustrasi/cryptocoinsnews
Ilustrasi/cryptocoinsnews

Bisnis.com, JAKARTA — Perusahaan, sebagai sumber utama perdagangan saham, kemungkinan bakal mengurangi pembeliannya pada masa mendatang dan berusaha mencegah ekuitas mencapai level valuasi pra krisis COVID-19.

Proyeksi tersebut dikeluarkan oleh Sanford C. Bernstein, sebuah lembaga penelitian dan manajer aset, dilansir Bloomberg, Senin (6/4/2020).

Lebih lanjut, lembaga ini menyebutkan, menurunnya profit, berkurangnya kapasitas untuk menerbitkan utang dengan imbal hasil tinggi guna membiayai pembelian saham, dan keengganan pemerintah memberikan stimulus bagi perusahaan membuat upaya buyback akan menyusut.

Bahkan, riset Sanford C. Bernstein menyatakan buyback bisa jadi tidak diterima secara sosial meski perusahaan ini menilai masih dini untuk mengarah ke perkiraan itu.   

“Setidaknya pada beberapa tahun mendatang, aksi buyback akan sangat terbatas,” kata para analis, termasuk di dalamnya adalah Inigo Fraser-Jenkins, seorang analis yang pernah bekerja di Bank of England.  

Berdasarkan analisis Bernstein, dinamika saat ini sangat berpengaruh bagi Amerika Serikat (AS). Aksi buyback berkontribusi 1-1,5 persentase poin dari pertumbuhan laba per saham sehingga memperkuat saham.

Tim analis pun menilai berbagai langkah dari pemerintah, misalnya, pemberian stimulus untuk menyelamatkan ekonomi negaranya, bakal memberikan dampak terhadap ekuitas.

“Ketika pemerintah mulai mengambil peran yang lebih besar dalam ekonomi, ini bisa mengubah pandangan investor terhadap ekonomi dalam jangka pendek. Peran pemerintah tidak bisa masuk begitu saja ke dalam persoalan setelah semua ini selesai,” jelas lembaga itu.

Bernstein memproyeksikan beban utang bisa melebihi level yang terjadi pada Perang Dunia II sehingga rangkaian stimulus dari pemerintah memegang kunci penting dalam hal ini.

Tak hanya itu, risiko inflasi yang melaju cepat dinilai membuat obligasi pemerintah menjadi tidak menarik untuk melindungi saham.

Ketiadaan instrumen investasi yang bebas risiko yang dapat memberikan imbal hasil nyata dan risiko tingginya inflasi diperkirakan bakal mmeperkuat emas.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Editor : Nurbaiti
Sumber : Bloomberg

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper