Bisnis.com, JAKARTA – Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan tidak asal bicara soal cuaca Indonesia yang panas dan humidity tinggi membuat virus corona tidak kuat.
Memang, pernyataan Luhut ini pun mengundang reaksi berbagai pihak. Apalagi, Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menyatakan belum ada bukti ilmiah jika Covid-19 tidak bertahan di cuaca panas.
Meski mengundang perhatian publik, Luhut sepertinya punya “pegangan” terkait pernyataannya. Guru Besar Mikrobiologi UGM Tri Wibawa menjelaskan suhu udara yang lebih tinggi hanya satu dari ratusan faktor yang berpengaruh terhadap transmisi virus.
Menurutnya, cuaca hanyalah faktor yang bisa menguntungkan, setelah mobilitas dan pergerakan manusia dibatasi untuk meredam penyebaran virus. Untuk itu, Tri mengatakan hubungan antara cuaca dan kecepatan transmisi virus ini perlu dilihat secara hati-hati.
Untuk itu, tidak bisa langsung disimpulkan bila masyarakat di daerah suhu yang panas lebih tahan terhadap virus. Intervensi sosial seperti social distancing pun tetap sangat diperlukan.
“Jangan sampai ada kesan kita ga perlu social distancing, karantina, karena kita aman, itu yang ditakuti,” katanya seperti dilansir Tempo.co, Minggu (5/4/2020).
Tri, yang juga menjadi salah satu pakar yang diundang oleh BMKG ini, mengamini tidak ada yang salah dengan pernyataan IDI. Sebab, sampai saat ini memang belum ada riset khusus tentang pengaruh cuaca terhadap Covid-19.
Hanya saja, penelitian khusus terkait cuaca dan Covid-19 telah berjalan di kampus-kampus. Kalaupun ada perbedaan pendapatan, Tri menyebutnya sebagai hal yang lumrah dalam dunia akademis.
Kajian mengenai hubungan cuaca dan fenomena penyebaran virus corona, pun telah sampai ke meja Presiden. Hasil kajian ini telah dan didiskusikan dengan menteri koordinator terkait, termasuk Luhut.
Kepala BMKG Dwikorita Karnawati mengatakan kajian ini memang tidak akan dipublikasikan luas. Sebab, kajian ini bersifat dukungan bagi kebijakan social distancing.
Awalnya, saat virus corona pertama kali muncul di Indonesia pada 2 Maret 2020. Saat itu, Dwikorita mengumpulkan sejumlah pakar, termasuk Tri Wibawa, untuk mengamati fenomena penyebaran virus ini.
Sebab dalam gelombang pertama, Desember hingga Februari, virus pertama kali menyebar di Cina, Italia, Perancis, hingga Iran. Setelah itu, pada gelombang kedua, virus menyebar luas di Malaysia, Singapura, hingga Indonesia.
Sepanjang Maret 2020, BMKG mengumpulkan literatur dan kajian ilmiah yang berkaitan dengan pengaruh cuaca terhadap penyebaran virus.
Mereka melakukan kajian berdasarkan analisis statistik, pemodelan matematis dan studi literatur tentang pengaruh cuaca dan iklim dalam penyebaran virus corona. Hanya saja, BMKG baru melihat pengaruh cuaca dan kelembaban terhadap virus terdahulu seperti Sars, dan virus influenza.
Barulah dari kedua kasus tersebut, muncul asumsi akademik terhadap penyebaran virus corona saat ini, yang masih satu keluarga dengan Sars dan memiliki nama ilmiah Sars-CoV-2.
Dalam kajiannya, BMKG tetap merekomendasikan pembatasan sosial untuk meredam penyebaran virus. Sebab, penyebaran virus corona di Indonesia diduga akibat faktor mobilitas manusia dan interaksi sosial yang lebih kuat berpengaruh, daripada faktor cuaca.
Sebelum hasil isu cuaca dan Covid-19 ini muncul ke publik, Dwikorita pun menyebut BMKG sudah rapat hingga 10 kali dengan Luhut. Pakar dari ITB, UI, hingga UGM pun hadir.
Barulah kemudian, pernyataan disampaikan Luhut. “Setelah ada keributan itu, kami pikir apa enggak lebih baik kami edukasi masyarakat,” kata dia.
BMKG pun akhirnya menerbitkan siaran pers berisi penjelasan atas kajian BMKG tentang virus corona tersebut pada 3 April 2020. “Tapi bagi kami perbedaan pendapat itu hal yang biasa, bukan sesuatu yang dihindari,” kata dia.