Bisnis.com, JAKARTA - Apabila Formula E tak ada di Jakarta, batu alam atau cobblestone di kawasan Monumen Nasional (Monas) barangkali hanya kita injak-injak belaka, tanpa tahu apa makna dan sejarah di baliknya.
Seperti diketahui, setelah sirkuit balapan mobil listrik bertajuk Jakarta E-Prix ini dipastikan berada di Kawasan Medan Merdeka Monas, artinya sebagian cobblestone di pelataran Monas akan ditumpuki aspal.
PT Jakarta Propertindo selaku Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) yang diberi tanggung jawab membangun infrastruktur sirkuit, telah menjajal metode mengaspal tanpa merusak si batu alam.
Uji coba ini dilakukan untuk menguji bahan pelapis mana yang lebih cocok digunakan untuk melindungi cobblestone Monas, apakah geotextile atau sandsheet.
Pekerjaan pengaspalan ini dilakukan seluas 60 m2 pada Jumat (21/2/2020) malam, kemudian dikelupas pada Selasa (25/2/2020) dini hari, didampingi ahli dari Lembaga Afiliasi Penelitian Indonesia - Institut Teknologi Bandung (LAPI ITB).
Deputi Bidang Teknis OC Formula E Jakarta, Wisnu Wardhana mengatakan, aspal telah melalui kondisi panas pada suhu terukur dan guyuran hujan yang memadai, serta dilintasi uji geser. "Masa pelapisan sudah cukup waktu untuk mengevaluasi hasil,” ujarnya.
Di tempat terpisah, Direktur Utama PT Jakarta Propertindo Dwi Wahyu Daryoto mengungkapkan hasil uji coba pengaspalan tersebut telah menghasilkan keputusan bahwa lapisan geotextile akan digunakan sebagai bahan pelapis cobblestone.
Kendati demikian, kesepakatan apakah aspal ini akan dipermanenkan atau tidak, masih belum menemui titik terang.
Dwi sendiri masih berharap agar aspal dipermanenkan saja, dengan pertimbangan lebih ramah untuk kaum disabilitas dan potensi penggunaan infrastruktur sirkuit yang berkelanjutan sebagai sport tourism.
Terlebih, cobblestone di Monas bukan termasuk cagar budaya, dan sama saja tidak menyerap air karena dilapisi beton di bawahnya.
"Kalau di Monas sudah dipastikan tidak dilindungi. Itu 15 tahun lalu itu dibangunnya, berarti belum mewakili cagar budaya. Cagar budayanya ya, Monas-nya itu. Cooblestone baru dipasang Jaya Kontruksi [PT Jaya Konstruksi Manggala Prataman Tbk.], Pembangunan Jaya 15 tahun lalu," ungkapnya kepada Bisnis.
Menurut Dwi, kawasan sekitar Monas memang merupakan kawasan cagar budaya, karena bernama Medan Merdeka yang artinya lapangan penting yang digunakan ketika hari kemerdekaan. Sementara itu, cobblestone sendiri bukan cagar budaya karena baru dibangun di era modern.
Sekretaris Perusahaan Jakpro Hani Sumarno pun mengaku telah mengonfirmasi pihak PT Jaya Konstruksi Manggala Pratama dan memastikan bahwa pemasangan cobblestone yang paling tua baru berkisar pada 25 tahun yang lalu.
Cobblestone di kawasan Monas dibangun pertama kali pada tahun 1995 bertepatan 50 tahun Indonesia Merdeka untuk sisi timur dan barat. Adapun, sisi selatan dan utara dipasang tahun 1996. Tahun berikutnya, 1997 untuk Silang Monas terdiri dari silang tenggara, timur laut, barat laut, dan barat daya.
Sejarah Tetaplah Sejarah
Apabila Jakpro lebih menekankan bahwa cobblestone Monas merupakan bagian proyek semata, Kepala Seksi Pelayanan UPK Monas Irfal Guci mengungkap sisi lain.
Irfal masih percaya bahwa bagaimana pun, batu alam di pelataran Monas memiliki kekuatan hukum untuk dipertahankan. Sebab, memiliki cerita, memiliki makna. Itulah sejarah.
"Batu alam ini batu candi. Bukan batu sembarangan karena bentuknya memanjang dan ditanam ke bawah. Makannya awet. Bukan batu alam yang biasa, tipis-tipis seperti untuk hiasan di jalan [trotoar] atau di tembok, gitu," jelasnya ketika ditemui Bisnis, Rabu (26/2/2020).
Terlebih, Monas itu baik tugu maupun kawasannya merupakan cagar budaya sesuai keputusan gubernur No 475/1993. Oleh sebab itu, cobblestone punya kekuatan hukum lebih.
Irfal pun berpegang pada UU No 11/2010 bahwa cobblestone Monas merupakan warisan budaya bersifat kebendaan yang perlu dilestarikan keberadaannya. Karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan kebudayaan.
Irfal mengungkapkan cerita kunjungan salah satu dari sembilan pakar perancang kawasan Monas besutan Pemprov DKI era Wiyogo Atmodarminto, Gubernur Jakarta periode 1987–1992.
"Pengembangan lapangan Monas tumbuh pada akhir masa jabatan pak Wiyogo. Dinas Tata Kota ditugaskan menata kembali lapangan monas setelah PRJ ditinggalkan, antara lain pohon-pohon yang tidak beraturan dan gundul," jelasnya.
Tim pakar berguna merumuskan bagaimana menata kembali kawasan Monas dengan memperhatikan aturan presiden. Tim pun berkonsultasi dengan Presiden Soeharto didampingi beberapa menterinya pada 1993.
Di antaranya Menteri Pariwisata Soesilo Soedarman, Menteri Sekretaris Negara Moerdiono, Menteri Perhubungan Azwar Anas Datuak Rajo Sulaiman, serta Menteri Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup Emil Salim.
Ketika pembahasan itu, Gubernur DKI Jakarta sempat mengalami pergantian, pengembangan kawasan pun diteruskan Soerjadi Soedirdja, Gubernur DKI Jakarta periode 1992–1997.
Irfal menjelaskan lebih lanjut bahwa konsep tim pakar yang disetujui akhirnya dituangkan lebih detail ke SK 792/1997, lengkap tercatat di dokumen Dinas Tata Kota pada 1993.
Asistensi Komisi Pengarah Pembangunan Kawasan Medan Merdeka dengan beberapa menteri pun menghadirkan budayawan sekaliber Umar Kayam, Guruh Soekarno Putra, dan Bambang Kesowo.
Setelah Presiden Soeharto menyetujui, eksekusi pembangunan dilakukan. Sebanyak satu juta pohon dari 27 provinsi di Indonesia ditanam di sisi selatan Monas.
Menurut Irfal, konsep Ruang Agung di sekitar Monas sebagai ruang kota, lapangan, dan hutan kota telah direncanakan, namun belum dikerjakan 100 persen.
Penempatan cobblestone sendiri merupakan saran Menteri Emil Salim sebagai penanda Ruang Agung sekaligus, agar kendaraan yang ketika itu masih boleh melintasi Monas lebih lambat.
"Selain juga mengurangi getaran, karena jalan dideteksi terlalu dekat dengan tugu [Monas]. Pada masa Gubernur Sutiyoso juga ada tapak kaki presiden, mohon dipertahankan," jelasnya.
"Jadi sebenarnya bukan hanya Monas yang cagar budaya. Tapi seluruh Ruang Agung yang dibatasi pohon Palem yang mengelilingi Monas ini. Itu pun ada maknanya," tambahnya.
Oleh sebab itu, Irfal menekankan sebaiknya cobblestone Monas betul-betul dijaga. Jangan sampai nantinya rusak karena ditumpuki aspal sirkuit Formula E.
Namun demikian, Irfal mengakui sisi lain sejarah cobblestone Monas ini memang patut disuarakan lebih luas.
Dampak Formula E
Formula E Jakarta sendiri, pada akhirnya justru membuat banyak orang mencari tahu tentang Monas.
Sehingga, fungsi sejarahnya justru menjadi lebih kuat, bukan hanya sekadar monumen. Cobblestone pun menjadi lebih berharga, bukan sebatas diinjak-injak pengunjung semata.
Cobblestone Monas memang tak setua cobblestone di Les Invalides yang juga ditumpuki aspal untuk gelaran E-Prix Paris, Perancis.
Di mana, batu-batu paving block di jalan belakang gereja Les Invalides berusia seabad yang lalu. Ceritanya, Raja Perancis ketika itu memerintahkan para narapidana untuk bekerja, memasang batu tersebut satu per satu sebagai infrastruktur jalan.
Monas pun tak setua Bandara Tempelhof yang diputari para pembalap Formula E dalam E-Prix Berlin, Jerman. Di mana merupakan salah satu bandara tertua yang dibangun sejak 1927 yang kemudian dilanjutkan secara masif oleh pemerintahan era Nazi dan menjadi salah satu ikon utama Perang Dunia II.
Atau street circuit Formula E di Roma, Italia berlokasi di Esposizione Universale Roma (EUR), di mana Benito Mussolini telah membangun komplek ini sebagai business district sejak pada 1935, di mana landmark dan arsitektur bangunannya menggambarkan kejayaan era fasisme di Italia.
Namun, terlepas dari seluruh hal ini, tampaknya salah satu tujuan Formula E tercapai, sebelum ajang balapnya digelar. Yakni agar sejarah Monas semakin kuat, dan setara dengan landmark-landmark besar dunia.