Bisnis.com, JAKARTA — Moody's Investor Service mengumumkan bahwa prospeknya untuk kelayakan kredit negara-negara Asia Pasifik (APAC) adalah negatif untuk 2020.
Prospek negatif ini disebabkan oleh laju pertumbuhan ekonomi yang lebih lambat, lingkungan eksternal yang bergejolak, serta kapasitas beberapa pemerintah untuk menanggapi guncangan terpantau berkurang.
Dalam pernyataan resmi Moody's yang diterima Bisnis, Kamis (9/1/2020), perlambatan pertumbuhan global secara bertahap, diperburuk oleh ketegangan perdagangan AS-China, akan membatasi kualitas kredit dari negara-negara APAC yang termasuk dalam daftar peringkat.
Menurut Wakil Presiden dan Senior Credit Officer Moody's Martin Petch, terlepas dari kesepakatan dagang fase satu, prospek AS dan China untuk sepakat pada masalah jangka panjang seperti kebijakan industri, kekayaan intelektual, dan pasar akses tetap sangat tidak pasti.
"Akibatnya, hubungan perdagangan AS-China tetap akan menjadi sumber ketidakpastian dan volatilitas pada 2020," ujarnya.
Laporan tersebut juga menggarisbawahi melemahnya perdagangan turut menghambat investasi, yang jika terus berlanjut akan mengurangi potensi pertumbuhan dan memperkuat tantangan struktural yang sudah lama ada, termasuk kerentanan fiskal dan perubahan demografis.
Baca Juga
Di Asia Pasifik, ketegangan perdagangan tidak lagi hanya memperburuk pelambatan global volume perdagangan.
"Dampaknya sekarang juga meluas ke investasi, di mana pelaku bisnis menunda rencana ekspansi di tengah ketidakpastian ekonomi, politik dan kebijakan, yang akan merusak pertumbuhan pendapatan, daya saing dan produktivitas dalam jangka panjang," tambah Petch.
Secara rata-rata di seluruh kawasan APAC, Moody's memperkirakan pertumbuhan PDB sebesar 4 persen pada 2019-2021. Meski lambat dari 4,4 persen selama 2014-2018, tetapi masih kuat dengan standar global.
Terbatasnya ruang kebijakan fiskal di tengah upaya pemerintah untuk menahan guncangan pertumbuhan eksternal dan domestik akan menjadi risiko bagi beberapa negara.
Bagi pemerintah di India, China, Pakistan, dan Srilanka, prospek pertumbuhan yang melambat akan meningkatkan kapasitas otoritas untuk mendukung ekonomi mereka. Sebaliknya, beberapa wilayah lainnya, termasuk Hong Kong, Korea Selatan, dan Singapura memiliki fleksibilitas fiskal yang jauh lebih besar.
Selain itu, pertumbuhan yang lebih lemah akan menambah tantangan struktural di kawasan ini, seperti laju penuaan populasi yang cepat hingga tantangan pengadaan lapangan kerja untuk memenuhi permintaan dari angka populasi muda yang besar dan sedang tumbuh di negara-negara seperti Filipina, Indonesia, serta Malaysia.
Di tengah meningkatnya ketidakpastian, pasar perbatasan APAC rentan terhadap perubahan selera investor yang dapat berubah secara tiba-tiba.
Sebanyak 19 dari 25 negara APAC yang masuk dalam peringkat Moody's memiliki prospek yang stabil, sedangkan 4 negara lain memiliki prospek negatif dan 2 dengan prospek positif.