Kabar24.com, JAKARTA — Mahkamah Konstitusi (MK) tidak bersedia menilai keabsahan Penentuan Pendapat Rakyat atau Pepera 1969 sebagai dasar hukum kembalinya Papua ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia atau NKRI.
Pepera menjadi dasar bergabungnya Irian Barat, yang kini bernama Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat, ke dalam NKRI pada 1969. Pelaksanaan Pepera pada 2 Agustus 1969 merupakan konsekuensi Perjanjian New York 1962 antara Pemerintah RI dengan Pemerintah Kerajaan Belanda.
Setelah pelaksanaan Pepera, Pemerintah dan DPR kemudian membentuk UU No. 12/1969 tentang Pembentukan Propinsi Irian Barat dan Kabupaten-kabupaten Otonom di Provinsi Irian Barat. Kata ‘Pepera’ kemudian dimasukkan dalam bagian konsiderans dan penjelasan umum beleid tersebut.
Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna menuturkan bahwa Pepera disahkan dalam Resolusi Majelis Umum PBB No. 2504 (XXIV) 19 November 1969. Berdasarkan Konvensi Wina 1978, metode seperti Pepera masuk kategori suksesi negara dalam bentuk penyerapan suatu wilayah negara oleh negara lain.
Selanjutnya, tambah Palguna, Pepera 1969 ditindaklanjuti melalui hukum nasional dalam wujud UU 12/1969. Karena itu, MK tidak memiliki kewenangan menilai Pepera 1969 sebagai produk hukum Majelis Umum PBB.
“Mendalilkan adanya kerugian konstitusionalitas dari ketentuan UU 12/1969 sama artinya ‘memaksa’ Mahkamah untuk menilai keabsahan tindakan PBB,” katanya ketika membacakan pertimbangan Putusan MK No. 35/PUU-XVII/2019 di Jakarta, Senin (6/1/2020).
Palguna membantah dalil para penggugat bahwa UU 12/1969 merugikan hak konstitusional. Seharusnya, kata dia, para pemohon terlebih dahulu mempersoalkan keabsahan hukum Pepera.
“Namun Mahkamah tidak memiliki kewenangan untuk menilai keabsahan Pepera maupun Resolusi Majelis Umum PBB 2504 yang mengakui kebasahan Pepera,” ucapnya.
Di samping tidak melihat adanya persoalan konstitusionalitas, MK menilai pula bahwa para pemohon UU 12/1969 tidak berhak mengajukan uji materi. Mengingat UU 12/1969 sebagai beleid pembentukan daerah, hanya pemerintah daerah yang memiliki kedudukan hukum mengajukan permohonan.
“Mengadili, menyatakan permohonan para pemohon tidak dapat diterima,” kata Ketua Majelis Hakim Konstitusi Anwar Usman saat membacakan amar putusan.
Eksistensi kata ‘Pepera’ dalam UU 12/1969 digugat oleh sejumlah organisasi dan perorangan asal Papua a.l. Yan Pieter Yarangga, Thaha M. Alhamid, Solidaritas Perempuan Papua, Kemah Injil Gereja Masehi di Tanah Papua.
Sebelumnya, Simon Pattirajawane, kuasa hukum para pemohon, mengatakan kliennya mempertanyakan proses persiapan maupun pelaksanaan Pepera yang tidak melibatkan masyarakat Papua. Selain itu, Pepera tidak diikuti oleh seluruh penduduk dengan mekanisme satu orang-satu suara, melainkan musyawarah oleh 1025 orang anggota Dewan Musyawarah Pepera.
“Konsiderans bertentangan dengan hak atas kebebasan menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati nuraninya dalam Pasal 28E ayat (2) UUD 1945,” katanya.
Para pemohon meminta kepada MK untuk membatalkan konsiderans dan penjelasan umum UU No. 12/1969 yang mencantumkan kata Pepera. Dengan demikian, segala akibat hukumnya tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat.