Kabar24.com, JAKARTA — Pada 1 November 2019, Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo menerima kunjungan Duta Besar China untuk Indonesia Xiao Qian.
Dubes Xiao merupakan diplomat asing kedua yang diterima Edhy sebagai bos baru Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) setelah Dubes Jepang untuk Indonesia Masafumi Ishii. Melalui rilis resmi, sang tuan rumah dan tamu membagikan momen keakraban dan rencana kerja sama.
Xiao mengucapkan selamat atas jabatan baru Edhy dan menawarkan peningkatan neraca perdagangan. Sementara itu, Edhy mengajak China untuk bekerja sama di bidang perikanan budi daya.
Inisiatif mengunjungi KKP-1 juga dipraktikkan oleh pendahulunya, Xie Feng, ketika menemui Susi Pudjiastuti pada November 2014. Ketika itu, Susi secara lugas meminta komitmen China untuk mencegah praktik penangkapan ikan secara ilegal di Indonesia.
Sekitar 1,5 tahun kemudian, Xie Feng dipanggil menghadap Susi karena komitmen itu dirasa tidak dipenuhi. Pada 19 Maret 2016, terjadi insiden penabrakan kapal Cost Guard China ke badan kapal MV Kway Fey 10078 yang hendak diamankan oleh Kapal Patroli (KP) Hiu 11.
Kway Fey 10078 merupakan kapal nelayan China yang menangkap ikan di perairan Natuna, tetapi malah dikawal oleh armada penjaga pantai. Akibat penabrakan itu, KP Hiu 11 gagal menyeret Kway Fey 100078 ke pantai, melainkan cuma mengamankan awak kapalnya.
Insiden di Natuna itu segera memantik keributan diplomatik antara Indonesia dan China. Pemerintah Negeri Panda mengklaim nelayannya berhak menangkap ikan di wilayah penangkapan ikan tradisional (traditional fishing ground) Laut China Selatan.
China mengklaim penangkapan ikan tradisional itu belum keluar dari batas sembilan garis putus-putus (nine dash line) perairannya. Tak hanya Indonesia, garis imajiner tersebut tumpang tindih dengan perairan negara lain seperti Vietnam dan Filipina.
Sebaliknya, pemerintah Indonesia menegaskan nelayan China menerobos Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) di Natuna. Pemerintah berpegangan kepada Konvensi Hukum Laut PBB (UNCLOS) 1982 yang mengakui ZEE negara kepulauan.
Insiden di perairan Natuna ketika itu segera menyadarkan pemerintah untuk mengamankan kawasan terluar Indonesia tersebut. Berbagai langkah sebagai ‘efek penggentar’ pun diwacanakan.
Presiden Jokowi bahkan secara demonstratif menggelar rapat kerja di KRI Imam Bonjol ketika mengunjungi Natuna pada Juni 2016. Dalam rangkaian HUT TNI 2016, Jokowi juga menyaksikan latihan tempur TNI AU di Natuna.
Secara simbolik, pemerintah pun menamai ZEEI utara Pulau Natuna dengan nama Laut Natuna Utara. Penamaan itu ditandai dengan penerbitan peta baru NKRI oleh Badan Informasi Geospasial (BIG) pada Juli 2017 (lihat gambar).
ERA EDHY
Aneka aksi pemerintah terhadap Natuna setidaknya membuat insiden serupa Kway Fey 10078 tidak terdengar lagi. Pentingnya Natuna sebagai simbol kedaulatan bagi Menteri Susi ditandai dengan seremoni penenggelamkan kapal di akhir masa jabatannya pada 7 Oktober 2019.
Ketika itu, sebanyak tujuh kapal pencuri ditenggelamkan di Natuna. Perinciannya, sebanyak empat kapal asal Vietnam, dua asal China, dan satu asal Malaysia.
Entah kenapa, sepeninggal Susi aksi penangkapan ikan secara ilegal malah terulang lagi. Pada akhir Desember 2019, kapal nelayan China tertangkap kamera beraktivitas di Natuna dengan penjagaan armada Cost Guard.
Mirip dengan 2016, aksi tersebut membuat Indonesia dan China kembali bersitegang, paling tidak di media massa. Kementerian Luar Negeri mengirimkan nota protes ke Beijing dan memanggil Dubes China untuk Indonesia.
Kembali, pemerintah Negeri Tirai Bambu membantah nelayannya menangkap ikan secara ilegal di Laut Natuna Utara. Negeri komunis tersebut mengklaim wilayah penangkapan ikan itu bukan ZEEI versi Indonesia.
Otoritas pemegang kekuasaan di negeri ini pun turut bersuara dengan berbagai nada. Meskipun menghadapi negara asing, ternyata polemik di kalangan politisi masih mencuat.
Partai Keadilan Sejahtera (PKS), misalnya, mengkritik sikap Menteri Pertahanan Prabowo Subianto yang dinilai lembek merespons klaim China. Jubir PKS Muhammad Kholid melalui keterangan resminya menilai Prabowo terlalu santai dengan insiden di Laut Natuna Utara.
“Sikapnya harus tegas dan punya wibawa. Kalau lembek, santai-santai, maka bangsa ini akan semakin direndahkan oleh bangsa lain karena tidak punya keberanian dalam bersikap,” ucapnya.
Sebaliknya, Kholid mengapresiasi ketegasan Menteri Luar Negeri Retno Marsudi. Sama seperti 2016, Retno menyatakan ulang bahwa Indonesia tidak pernah mengakui sembilan garis putus-putus China yang tidak dikenal rezim UNCLOS 1982.
Kritik PKS terhadap Prabowo mungkin dinilai tidak biasa. Bagaimana pun, PKS adalah sekutu setia Prabowo dalam dua kompetisi pemilihan presiden.
Ketika Prabowo memilih bergabung dengan pemerintahan Joko Widodo-Ma’ruf Amin, PKS memang emoh ikut serta. Partai berbasis massa Islam tersebut memilih menjadi oposisi pemerintahan yang ada Prabowo di dalamnya.
Menanggapi PKS, jubir Menhan Dahnil Anzar Simanjuntak mengklaim tidak ada perbedaan sikap antara Prabowo dan Retno. Apalagi, kedua pejabat tersebut sama-sama hadir dalam rapat di Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan.
“Kebetulan yang diminta menyampaikan Bu Menlu. Jadi enggak mungkin beda-beda,” kata politikus Partai Gerindra ini dalam rilis tertulis.
Sebagai teman lama, PKS barangkali terkejut melihat respons Prabowo ketika menjadi bagian pemerintah. Bagaimana pun, narasi kampanye Prabowo semasa mengikuti kontestasi pilres dirasa cukup keras terhadap asing.
Segenap elemen bangsa Indonesia seharusnya seiya-sekata ketika menghadapi masalah kedaulatan. Jangan sampai, komentar menimbulkan tafsir berbeda sehingga rentan jadi bahan politisasi.
Pada 2016, Susi Pudjiastuti bak mengemban fungsi corong pemerintah menghadapi China. Meskipun sempat ada kritik karena Susi seakan mengambil peran diplomat, sikap tanpa kompromi membawa pesan ketegasan Indonesia.
Sebagai pengganti, Edhy Prabowo pun bisa mengambil posisi serupa. Apalagi, Edhy berpengalaman sebagai politisi oposan alias terbiasa bersikap vokal.