Bisnis.com, JAKARTA - Kendati menolak menghapus frasa ‘pemakai narkotika’ dalam UU Pilkada, Mahkamah Konstitusi (MK) memberikan tiga kriteria pengguna atau bekas pengguna narkotika yang dapat mencalonkan diri sebagai kepala daerah.
Pertama, pemakai narkotika karena alasan kesehatan yang dibuktikan dengan keterangan dokter yang merawat sang pemakai.
Kedua, mantan pemakai narkotika yang karena kesadarannya sendiri melaporkan diri dan telah selesai menjalani proses rehabilitasi.
Ketiga, mantan pemakai narkotika yang terbukti sebagai korban berdasarkan penetapan atau putusan pengadilan diperintahkan menjalani proses rehabilitasi dan telah dinyatakan selesai menjalani proses rehabilitasi.
Buktinya adalah surat keterangan dari instansi negara yang memiliki otoritas untuk menyatakan seseorang telah selesai menjalani rehabilitasi.
Mahkamah Konstitusi (MK) memasukkan tiga kriteria tersebut dalam pertimbangan, bukan amar Putusan MK No. 99/PUU-XVI/2018. Alasannya, UU No. 10/2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota (UU Pilkada) tidak mencantumkan secara tegas definisi ‘pemakai narkotika’ dalam Penjelasan Pasal 7 ayat (2) huruf i.
Baca Juga
Pemakai narkotika masuk dalam kriteria ‘perbuatan tercela’ yang tidak boleh pernah dilakukan oleh calon kepala daerah.
Menurut MK, tiga kriteria tersebut diperlukan guna mencegah potensi multitafsir dan penyalahgunaan wewenang dalam pemberlakuan larangan.
Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna menjelaskan bahwa ‘pemakai narkotika’ tetap masuk dalam kategori perbuatan tercela. Alasannya, penyalahgunaan narkotika terbukti sangat berbahaya sehingga pengetatan mesti dilakukan.
Apalagi, para calon kepala daerah tidak semata dituntut memiliki kompetensi, integritas, dan kapabilitas. Mereka mesti pula memiliki standar moral yang tinggi, salah satunya tidak memakai narkotika.
“Sehingga frasa ‘pemakai narkotika’ dalam Penjelasan Pasal 7 ayat (2) huruf i UU 10/2016 adalah konstitusional,” ujarnya saat membacakan pertimbangan Putusan MK No. 99/PUU-XVI/2018 di Jakarta, Rabu (18/12/2019).
Dalam Pasal 7 ayat (2) huruf i UU Pilkada, calon kepala daerah disyaratkan tidak pernah melakukan perbuatan tercela yang dibuktikan melalui surat keterangan catatan kepolisian (SKCK).
Pada bagian penjelasan, ‘perbuatan tercela’ meliputi antara lain judi, mabuk, pemakai/pengedar narkotika, dan berzina, serta perbuatan melanggar kesusilaan lainnya.
Pemohon perkara tersebut adalah mantan Bupati Ogan Ilir Ahmad Wajir Noviadi Mawardi. Pada 13 Maret 2016, Badan Narkotika Nasional (BNN) menangkap tangan Noviadi ketika menggunakan narkoba.
Padahal, dia baru beberapa hari dilantik sebagai Bupati Ogan Ilir, Sumatra Selatan, usai memenangkan pilkada pada Desember 2015.
Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo lalu memberhentikan Noviadi dari jabatannya secara tetap atas dasar melakukan perbuatan tercela. Pada 13 September 2016, Pengadilan Negeri Palembang menghukum Noviadi enam bulan rehabilitasi karena terbukti menyalahgunakan narkoba.
Ternyata, Noviadi berkeinginan kembali mengikuti Pilbup Ogan Ilir 2020. Dia merasa niatnya itu terhalangi dengan Penjelasan Pasal 7 ayat (2) huruf i UU Pilkada.
Dalam petitumnya, pemohon memberikan tiga alternatif agar frasa 'pemakai narkotika' dalam Penjelasan Pasal 7 ayat (2) huruf i UU Pilkada dinyatakan MK inkonstitusional secara bersyarat. Namun, permintaan tersebut dinilai tidak beralasan menurut hukum.
“Mengadili, menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua Majelis Hakim Konstitusi Anwar Usman saat membacakan amar putusan.