Bisnis.com, JAKARTA – Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sedang melakukan pengkajian untuk pembenahan sistem penilaian siswa.
Menurut Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Anwar Makarim, tim pengkajian sudah dibentuk. “Penilaian perlu dibuat agar fokus pada kompetensi mendasar yang berguna secara luas,” katanya, Selasa, (3/12/ 2019).
Hasil penilaian juga akan dilaporkan dalam bentuk yang bermanfaat bagi perbaikan praktik pengajaran di kelas maupun perumusan kebijakan pendidikan.
“Kita harus berani berubah dan berbenah. Sesuai dengan arahan Presiden Jokowi untuk menciptakan SDM unggul, kami akan terus menelaah upaya untuk melakukan terobosan-terobosan,” lanjutnya.
Dia menambahkan hasil Programme for International Student Assessment (PISA) 2018 merupakan masukan berharga untuk mengevaluasi dan membenahi sistem pendidikan di Indonesia.
Menurutnya, peningkatan kualitas pembelajaran menjadi hal yang utama. “Kami akan terus melibatkan guru dan orang tua. Penting bagi pemerintah untuk memberikan ruang bergerak yang cukup untuk pihak-pihak terkait dapat terlibat dan ikut belajar.”
Nadiem menyebut upaya pemerintah dalam meningkatkan akses selama satu dekade terakhir, telah membuahkan hasil. Hal itu terlihat dari peningkatan persentase penduduk yang bersekolah. Pada 2000, tercatat 39 persen penduduk usia 15 tahun bersekolah jenjang SMP atau SMA, sedangkan pada 2018 meningkat menjadi 85 persen.
Smenetara itu, Direktur Pendidikan dan Keterampilan OECD, Andreas Schleicher, mengatakan Indonesia perlu memastikan pengajaran dan pembelajaran yang berkualitas. Semua siswa dapat mencapai pendidikan tinggi jika dukungan yang baik dan tepat sasaran diberikan, terutama siswa yang kurang beruntung.
Hasil PISA 2018 yang dirilis Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) di Paris, Prancis, Selasa, menunjukkan bahwa kemampuan siswa Indonesia dalam membaca meraih skor rata-rata 371, jauh di bawah rata-rata OECD yang 487. Untuk skor rata-rata matematika 379, sedangkan OECD 487, untuk sains 389, sedangkan OECD 489.
Laporan OECD tersebut juga menunjukkan bahwa sedikit siswa Indonesia memiliki kemampuan tinggi dalam satu mata pelajaran, sedangkan saat bersamaan sedikit juga siswa meraih tingkat kemahiran minimum dalam satu mata pelajaran. Dalam kemampuan membaca, hanya 30 persen siswa Indonesia mencapai setidaknya kemahiran tingkat dua, sedangkan rata-rata OECD 77 persen.
Untuk bidang matematika hanya 28 persen siswa Indonesia mencapai kemahiran tingkat dua, sedangkan rata-rata OECD 76 persen. Dalam tingkatan itu, siswa dapat menafsirkan dan mengenali, tanpa instruksi langsung, bagaimana situasi dapat direpresentasikan secara matematis.