Bisnis.com, JAKARTA - Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai bahwa kapasitas kepala desa harus ditingkatkan menyusul adanya dugaan korupsi dana desa oleh sejumlah desa fiktif atau tak berpenghuni namun turut menerima aliran dana pemerintah.
Apalagi, KPK dan Kepolisian saat ini tengah mengusut dugaan itu di Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara, karena adanya kerugian negara atau daerah atas Dana Desa (DD) dan Alokasi Dana Desa (ADD) TA 2016-2018.
Peneliti ICW Tama S Langkun mengatakan bahwa peningkatan kapasitas kepala desa penting lantaran tak jarang ditemukan sejumlah kepala desa yang menurutnya tidak mampu untuk mengelola anggaran.
Bahkan, lanjut Tama, ditemukan juga kepala desa yang tidak mampu membuat laporan pertanggungjawaban sehingga menimbulkan temuan-temuan dugaan korupsi dana desa.
"Nah, ini menurut saya menjadi problem-problem ke depan yang harus diselesaikan untuk mencegah dana desa di korupsi," tuturnya, di Gedung ACLC KPK, Jumat (8/11/2019).
Namun demikian, upaya untuk mencegah korupsi dana desa menurutnya harus diawali melalui penguatan fungsi pengawasan dari pemerintah.
Pengawasan dimulai dari proses keluarnya anggaran, dialirkan ke pemerintah daerah, diterima oleh desa-desa hingga bagaimana anggaran tersebut dikelola.
"Makanya upaya akuntabilitas dan transparansi itu menjadi salah satu modal dasar pengelolaan dana desa," ujar Tama.
Selain itu, yang terpenting adalah peran dan kesadaran dari masyarakat desa agar memahami pola dan mekanisme bantuan dana desa dari pemerintah.
[Masyarakat desa] harus paham bagaimana anggaran desa tersebut bergulir untuk digunakan," kata Tama.
Sebelumnya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) setidaknya menemukan empat potensi masalah terkait dana desa menyusul kajian yang telah dilakukan pada 2015.
Kajian yang dilakukan dalam pelaksanaan tugas pencegahan KPK itu menemukan masalah dana desa terkait tumpang tindih regulasi antara Kemendagri dan Kemendes; tata kelola; pengawasan; serta masalah sumber daya manusia.
Pertama, terkait masalah regulasi. Juru bicara KPK Febri Diansyah mengatakan masalah muncul karena belum lengkapnya regulasi dan petunjuk pelaksanaan yang diperlukan dalam pengelolaan keuangan desa.
Selain itu, lantaran potensi tumpang tindih kewenangan antara Kementerian Desa dan Ditjen Bina Pemerintahan Desa Kementerian Dalam Negeri.
"Kewajiban penyusunan laporan pertanggungjawaban oleh desa tidak efisien akibat ketentuan regulasi yang tumpang tindih," kata dia, Rabu (6/11/2019) malam.
Dia mengatakan masalah itu karena formula pembagian dana desa dalam PP No. 22 tahun 2015 dinilai tidak cukup transparan dan hanya didasarkan atas dasar pemerataan.
Kemudian, pengaturan pembagian penghasilan tetap bagi perangkat desa dari ADD yang diatur dalam PP No. 43 tahun 2014 kurang berkeadilan.
Kedua, potensi masalah dalam tata laksana yaitu, kerangka waktu siklus pengelolaan anggaran desa sulit dipatuhi oleh desa; satuan harga baku barang/jasa yang dijadikan acuan bagi desa dalam menyusun APBDesa belum tersedia; dan APBDesa yang disusun tidak sepenuhnya menggambarkan kebutuhan yang diperlukan desa.
Selanjutnya, transparansi rencana penggunaan dan pertanggungjawaban APBDesa masih rendah dan laporan pertanggungjawaban yang dibuat desa belum mengikuti standar dan rawan manipulasi.
Ketiga, kajian itu juga menemukan potensi masalah dalam hal pengawasan. Ditemukan bahwa efektivitas Inspektorat Daerah dalam melakukan pengawasan terhadap pengelolaan keuangan di desa masih rendah.
Tak hanya itu, saluran pengaduan masyarakat tidak dikelola dengan baik oleh semua daerah serta ruang lingkup evaluasi dan pengawasan yang dilakukan oleh camat belum jelas.
Terakhir, adanya potensi masalah sumber daya manusia (SDM). Hal itu antara lain tenaga pendamping berpotensi melakukan korupsi/fraud memanfaatkan lemahnya aparat desa.
"Dari temuan tersebut, KPK merekomendasikan kepada badan atau kementerian terkait untuk merevisi dan atau membuat regulasi baru," ujarnya.
Revisi itu antara lain dengan merevisi Permendagri No. 7 tahun 2008 tentang Pedoman Tata Cara Pengawasan atas Penyelenggaraan Pemerintahan Desa.
"[Rekomendasinya] dengan memasukkan aspek pengawasan partisipatif oleh masyarakat, audit sosial, mekanisme pengaduan dan peran inspektorat daerah," ujarnya.