Bisnis.com, MANILA – Penduduk di kawasan Asia dan Pasifik masih terancam kelaparan, sekaligus menjadi penyumbang terbesar kondisi rawan pangan di dunia.
Hal itu mengemuka dalam Forum Ketahanan Pangan dan Pembangunan Pedesaan atau Rural Development and Food Security Forum 2019 yang digelar oleh Asian Development Bank (ADB) di Manila, Filiphina, Selasa (29/10/2019).
Woochong Um, Director General of Sustainable Development and Climate Change Department, Asia Development Bank (ADB) dalam paparannya di Forum Ketahanan Pangan dan Pembangunan Pedesaan atau Rural Development and Food Security Forum 2019, mengemukakan bahwa sebanyak 822 juta orang di muka bumi masih berada dalam kondisi tidak aman pangan. Sebanyak 517 juta orang atau 62,89% di antaranya berada di kawasan Asia dan Pasifik.
Pembangunan perdesaan dan ketahanan pangan dinilai mendesak untuk dilakukan.
“Kondisi ini menjadi perhatian kami. Apalagi, pembangunan perdesaan dan ketahanan pangan merupakan salah satu isu dari tujuh isu utama yang menjadi prioritas ADB,” katanya di Manila, Filiphina, Selasa (29/10).
Sebagai informasi, ADB telah menetapkan tujuh prioritas operasional hingga 2030. Ketujuh prioritas itu yakni menangani kemiskinan yang masih saja terjadi dan mengurangi kesenjangan; percepatan progres kesetaraan gender; penanganan perubahan iklim sembari membangun pertahanan terhadap bencana dan peningkatan ketahanan lingkungan; membuat kota menjadi lebih layak untuk ditempati; mendorong pembangunan perdesaan dan ketahanan pangan, memperkuat pemerintahan dan kapasitas institusi, serta integrasi dan kerja sama kehutanan di kawasan.
Woochong mengakui bahwa memang terdapat sejumlah tantangan untuk membangun perdesaan dan memperkuat ketahanan pangan. Salah satunya, ujarnya, tingginya kerugian pascapanen yang dialami oleh masyarakat perdesaan yang umumnya bergantung pada pertanian.
Secara persentase, terangnya, rata-rata tingkat kerugian pascapanen dari usaha pertanian dalam bentuk biji-bijian mencapai 25%. Kondisi lebih memprihatinkan terjadi pada masyarakat pertanian yang menggantungkan hidupnya dari pertanian buah-buahan dan sayuran. Rata-rata tingkat kerugian pascapanen dari usaha pertanian buah-buahan dan sayuran mencapai 40%.
“Kerugian pasca panen tergolong tinggi yang disebabkan oleh gangguan fungsi pasar,” tuturnya.
Dia melanjutkan bahwa perubahan iklim juga menjadi faktor yang turut menghambat pembangunan perdesaan dan ketahanan pangan. “Perubahan iklim mempengaruhi produksi pertanian, harga produk pangan dan malnutrisi di kalangan anak-anak,” ujarnya.
Menurut dia, perubahan iklim telah menyusutkan jumlah lahan pertanian di kawasan hingga 44%. Dampak lainnya yakni terjadinya kenaikan harga bahan pangan hingga 50%. Selanjutnya, kondisi malnutrisi di kalangan anak-anak juga terdongkrak hingga 20%.
Lagi-lagi, ADB menilai peran penting pemerintah di negara-negara Asia dan Pasifik untuk mendorong percepatan pembangunan perdesaan dan ketahanan pangan.
Untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat di kawasan, pemerintah dapat meningkatkan sinergi dengan pihak ketiga. “Dengan bekerja sama dengan partner lain, banyak hal yang bisa dicapai, dengan berbagi dan saling mengisi,” katanya.
INDONESIA
Persoalan serupa juga terjadi di Indonesia. Sebuah dokumen dari ADB menunjukkan bahwa kemiskinan telah menjadi persoalan Indonesia sejak lama. Sebagian besar masyarakat miskin Indonesia berada di kawasan perdesaan dan menggatungkan penghidupan dari sektor pertanian.
Berdasarkan dokumen tersebut, beberapa tantangan kunci di sektor pertanian dan ekonomi perdesaan yakni rendahnya produktivitas dan kualitas produk pertanian.
Di sisi lain, terdapat faktor lemahnya akses petani terhadap sumber daya produktif, hasil penelitian ilmiah dan perkembangan teknologi. Kondisi itu juga diperparah dengan rendahnya kemampuan para petani dalam menyerap implikasi dari hasil penelitian ilmiah dan perkembangan teknologi.
Tantangan lainnya yakni perubahan fungsi lahan pertanian menjadi lahan non-pertanian.
ADB telah menjadi partner Pemerintah RI sejak organisasi tersebut berdiri pada 1966. ADB sendiri telah memulai operasi di sektor pertanian di Indonesia secara langsung sejak 1968, dengan dua bantuan teknis yakni berupa survey pembiayaan perdesaan dan penasihat untuk Kementerian Pertanian.
Pada 2006, ADB telah menyalurkan sebanyak US$4,2 miliar dalam bentuk project financing dan US$69,4 juta dalam bentuk bantuan teknis (technical assistance/TA) untuk sektor pertanian di Indonesia. Aktivitas tersebut mencakup jasa pendukung pertanian, produksi panen, sumber daya kelautan dan perikanan, peternakan, industri agro, irigasi dan pembangunan perdesaan, serta manajemen lingkungan dan kehutanan.
Bantuan tersebut merupakan respon ADB atas permintaan dari Pemerintah RI pada 2001 yang meminta bantuan teknis sebagai masukan bagi Rencana Pembangunan Jangka Menengah 2004-2008.
Mark Rosegrant, Research Fellow Emeritus, International Food Policy Research Institute yang berbasis di Washington DC, menyebutkan pihaknya telah melakukan penelitian di sejumlah negara di kawasan, termasuk Indonesia.
Khusus bagi Indonesia, IFPRI memberikan sejumlah rekomendasi yang mencakup investasi, pendidikan pertanian dan penyuluhan, dan arah kebijakan politik.
“Investasi perlu ditingkatkan secara signifikan, terutama untuk riset dan pengembangan, infrastruktur, dan irigasi,” ujarnya.
Menurut dia, pemerintah dapat bekerja sama menggandeng sektor swasta, baik untuk riset dan pengembangan, maupun untuk pembangunan infrastruktur perdesaan. Pembangunan infrastruktur yang diperlukan mencakup jalan desa, elektrifikasi, jaringan seluler, pasar, sistem rantai dingin, hingga fasilitas untuk pemrosesan hasil pangan.