Bisnis.com, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memastikan bahwa penyidikan terhadap mantan Direktur Utama Jasa Tirta II Djoko Saputro berlanjut.
Hal ini menyusul ditolaknya permohonan praperadilan dalam sidang putusan perkara dugaan korupsi pengadaan pekerjaan jasa konsultansi di Perum Jasa Tirta II tahun anggaran 2017, di Pengadilan Jakarta Selatan, Selasa (22/10/2019).
Juru Bicara KPK Febri Diansyah mengatakan bahwa pihaknya berterima kasih pada sejumlah penegasan hakim dalam memutus praperadilan Djoko Saputro.
"Selanjutnya, KPK memastikan proses penyidikan perkara dengan tersangka DS [Djoko Saputro] tetap terus dilakukan dan segera melimpahkan ke penuntutan saat penyidikan selesai," kata Febri, Selasa (22/10/2019).
Dalam sidang praperadilan tersebut, setidaknya tersangka Djoko mengajukan beberapa alasan di antaranya penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan terhadap Djoko dinilai tidak sah karena telah dilakukan penyelidikan dengan kasus yang sama oleh Polres Purwakarta.
Kemudian, penetapan tersangka Djoko dinilai bertentangan dengan KUHAP, UU KPK dan SOP KPK. Lalu, KPK selaku termohon tidak berwenang melakukan penyidikan perkara a quo.
Namun, menurut Febri, sejumlah fakta sidang dan penjelasan KPK serta pertimbangan Majelis Hakim berkata lain.
Berdasarkan putusan hakim, kata dia, KPK dipandang telah memenuhi kewajiban dengan memberitahukan telah dilakukan penyidikan terhadap tersangka Djoko melalui SPDP satu hari setelah tanggal Sprindik.
"Hal ini bahkan lebih cepat karena menurut putusan MK ditentukan SPDP diberikan paling lambat 7 hari," kata Febri.
Pada saat penyelidikan, lanjut dia, KPK juga telah meminta keterangan Djoko yang sudah dituangkan dalam berita acara.
Adapun terkait dengan proses penyelidikan, kata Febri, hakim menegaskan bahwa KPK telah mencari bukti permulaan cukup, yaitu minimal dua alat bukti dalam penyelidikan yang diatur KUHAP dan UU KPK.
Selain itu, menurutnya, berdasarkan putusan hakim yang menegaskan bahwa pemeriksaan Djoko sebagai calon tersangka sudah dilakukan di penyelidikan dan telah ada bukti permulaan yang cukup.
"Sedangkan terkait audit kerugian keuangan negara pengujiannya bukanlah menjadi ranah praperadilan," kata Febri.
Febri mengatakan bahwa penegasan lain yang dipertimbangkan hakim adalah batasan proses penanganan perkara apakah akan dikoordinasikan atau ditangani sendiri adalah pada tahap penyidikan.
"Hal ini sesuai dengan Pasal 50 UU KPK. Sehingga alasan tersangka DS, KPK tidak bisa memproses karena sebelumnya Polres Purwakarta maupun Kejaksaan Agung telah melakukan penyelidikan sejak 2017 tidak beralasan," ucap Febri.
Dalam kasus ini, Djoko dan Andririni Yaktiningsasi selaku swasta ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan korupsi pengadaan pekerjaan jasa konsultasi di Perum Jasa Tirta II tahun 2017.
Djoko Saputro usai diangkat menjadi Direktur Utama Perum Jasa Tirta II pada 2016, diduga menginstruksikan agar melakukan revisi anggaran di perusahaan BUMN itu.
Revisi anggaran kemudian dilakukan dengan mengalokasikan tambahan anggaran pada pekerjaan pengembangan SDM dan strategi korporat yang pada awalnya senilai Rp2,8 miliar menjadi Rp 9,55 miliar.
Pada relokasi anggaran untuk Perencanaan Strategis Korporat dan Proses Bisnis senilai Rp3,82 miliar, sedangkan perencanaan komprehensif pengembangan SDM Perum Jasa Tirta II sebagai Antisipasi Pengembangan Usaha Perusahaan Rp5,73 miliar.
KPK menduga perubahan tersebut dilakukan tanpa adanya usulan bank dan unit lain dan tidak sesuai aturan yang berlaku.
Setelah revisi anggaran, Djoko pun memerintahkan Andririni Yaktiningsasi menjadi pelaksana pada kegiatan tersebut. Dalam dua kegiatan itu, Andririni diduga menggunakan bendera perusahaan PT Bandung Management Economic Center dan PT 2001 Pangripta.
Realisasi penerimaan pembayaran untuk kedua pelaksanaan proyek sampai dengan tanggal 31 Desember 2017 itu sebesar Rp5.564.413.800.
Rinciannya, Pekerjaan Komprehensif Pengembangan SDM PJT II sebagai Antisipasi Pengembangan Usaha Perusahaan sebesar Rp3.360.258.000 dan Perencanaan Strategis Korporat dan Proses Bisnis sebesar Rp2.204.155.8410.
KPK menduga pelaksanaan lelang dilakukan menggunakan rekayasa dan formalitas lantaran adanya penanggalan dokumen administrasi lelang secara backdate atau penanggalan mundur.
Tak hanya itu, KPK juga menduga nama-nama para ahli yang tercantum dalam kontrak hanya dipinjam dan dimasukkan ke dalam dokumen penawaran PT BMEC dan PT 2001 Pangripta sebagai formalitas untuk memenuhi administrasi lelang.
Akibat kasus ini, kerugian negara mencapai sekitar Rp3,6 miliar yang perhitungannya berasal dari keuntungan yang diterima Andririni dari kedua pekerjaan tersebut atau setidaknya lebih dari 66 persen dari pembayaran yang telah diterima.
Djoko Saputro dan Andririni disangkakan melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.