Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Pelemahan Ekonomi China Diperkirakan Berlanjut

Angka produk domestik bruto China yang akan diumumkan pada Jumat (18/10/2019), kemungkinan akan menunjukkan penurunan yang lebih dalam pada ekonomi yang terus melemah sejak paruh pertama 2019.
Yuan/Bloomberg
Yuan/Bloomberg

Bisnis.com, JAKARTA -- Beban berat dari perang dagang dan upaya pemerintah untuk mendorong pertumbuhan dari ketergantungan yang berlebihan pada investasi dan utang diperkirakan akan menghambat ekspansi ekonomi China lebih lanjut pada kuartal ketiga.

Angka produk domestik bruto China yang akan diumumkan pada Jumat (18/10/2019), kemungkinan akan menunjukkan penurunan yang lebih dalam pada ekonomi yang terus melemah sejak paruh pertama 2019.

Dilansir melalui Bloomberg, sejumlah ekonom yang disurvei memperkirakan ekonomi China pada kuartal ketiga akan tumbuh pada kisaran 6,1% secara tahunan, dari 6,2% pada kuartal sebelumnya.

Adapun untuk pembacaan bulanan, pasar mengharapkan data tentang investasi aset tetap (fixed asset) menunjukkan pertumbuhan tetap stabil hingga September, sedangkan pertumbuhan produksi industri dan penjualan ritel mungkin akan tercatat lebih tinggi.

Untuk memahami secara terperinci terhadap apa yang akan terjadi pada ekonomi terbesar kedua di dunia, ada beberapa hal yang harus diperhatikan.

Manufaktur China kini sedang tertekan, meskipun mengalami sedikit perbaikan pada September, indeks manajer pembelian resmi masih menunjukkan kontraksi baik secara keseluruhan maupun dalam pesanan baru.

"Sebagian dari pelemahan ini disebabkan oleh perang dagang dan perdagangan global, di sisi lain upaya pemerintah dan bank sentral untuk mengendalikan utang turut berdampak pada pelemahan dengan mempersulit perusahaan untuk mendapatkan akses kredit," seperti dikutip melalui Bloomberg, Kamis (17/10/2019).

Kondisi tersebut digambarkan melalui pertumbuhan investasi pabrik yang berada pada laju terlemah setidaknya sejak 2004.

Investasi infrastruktur dianggap sebagai sumber potensial permintaan baru, dengan pembuat kebijakan mendorong pemerintah daerah menjual lebih banyak obligasi untuk membayar jalan, kereta api dan proyek lainnya.

Namun, bahkan dengan peningkatan hutang infrastruktur, sektor ini tidak mampu mendorong pertumbuhan investasi.

Kuota pemerintah daerah untuk jenis obligasi ini untuk tahun anggaran 2019 pada dasarnya sudah terpenuhi, jadi tanpa peningkatan kuota atau tindakan lain, ekspansi mungkin terlihat lebih buruk pada kuartal terakhir 2019.

Dari segi perdagangan, secara tidak terduga sektor ini telah menjadi penopang pertumbuhan ekonomi utama sepanjang paruh pertama 2019.

Hal ini disebabkan oleh pelemahan impor dan ekspor yang secara masif dilakukan oleh perusahaan untuk menghindari kenaikan tarif.

Pada kuartal ketiga, baik ekspor maupun impor China diprediksi mengalami penurunan sehingga penting untuk mencermati kontribusi pertumbuhan dari ekspor bersih (net export).

"Penurunan kontribusi net artinya perekonomian semakin bergantung pada konsumsi domestik dan investasi, dua bidang yang kinerjanya lemah sepanjang tahun ini," tulis Bloomberg.

Pemerintah China juga tengah berupaya untuk mendorong belanja rumah tangga dan konsumsi untuk mendorong penyeimbangan kembali ekonomi dari ketergantungan pada investasi dan ekspor.

Menurut data International Monetary Fund, secara absolut konsumsi swasta adalah sekitar 38% dari PDB, jauh di bawah rata-rata global sekitar 60%.

IMF memperkirakan bahwa tingkat simpanan rumah tangga masih setinggi 46% dari produk domestik bruto, mereka menggaris bawahi di balik tingkat simpanan yang tinggi ada tingkat konsumsi yang rendah.

Berdasarkan angka pertumbuhan penjualan ritel yang lesu dan penjualan mobil yang merosot selama satu setengah tahun terakhir, semakin banyak masyarakat yang menahan diri untuk membelanjakan uang mereka.

Sementara itu, pembacaan inflasi yang lebih luas akan memberikan gambaran tentang perubahan harga di luar dampak wabah demam babi baru-baru ini.

Deflator PDB, perbedaan antara tingkat pertumbuhan utama yang disesuaikan dengan inflasi dan tingkat pertumbuhan nominal (tidak disesuaikan dengan inflasi), biasanya berada di suatu titik di antara indeks harga konsumen dan indeks harga produsen.

Data ini menjadi penting karena jika penurunan harga terus berlanjut, maka bank sentral kemungkinan besar akan meningkatkan stimulus.

Sementara itu, indeks harga konsumen naik karena lonjakan harga daging babi, tidak banyak yang dapat dilakukan pemerintah dalam jangka pendek, mereka kemungkinan akan lebih fokus pada apa yang terjadi dengan korporasi dan perekonomian yang lebih luas.

Di sisi lain, meskipun dengan pelemahan ekonomi dan beberapa perusahaan memangkas produksi dan jumlah pekerja, data resmi yang menunjukkan tingkat pengangguran masih stabil.

Meski demikian, pada periode yang sama, data ketenagakerjaan lain telah menunjukkan penurunan. Jika pelemahan itu menyebar dan muncul dalam data resmi, hal ini akan mendorong pembuat kebijakan untuk meningkatkan stimulus mereka.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Nirmala Aninda
Editor : Achmad Aris
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper