Bisnis.com, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berharap lembaga antikorupsi Singapura, Corrupt Practices Investigation Bureau (CPIB), bisa mendatangkan Sjamsul Nursalim ke Indonesia.
Sjamsul adalah pemegang saham pengendali Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) yang juga tersangka dalam kasus dugaan korupsi penerbitan Surat Keterangan Lunas Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (SKL BLBI)
Wakil Ketua KPK Alexander Marwata mengaku pihaknya telah bekerja sama dengan CPIB Singapura untuk menangani kasus Sjamsul Nursalim.
Saat ini, Sjamsul dan istrinya, Itjih Nursalim yang juga tersangka KPK diduga telah menetap di Singapura dengan status tinggal tetap (permanent residency).
"Kalau bisa didatangkan [ke Indonesia], itu lebih baik. Kalau tidak bisa, misalnya, diperiksa di kantor CPIB itu juga akan membantu," kata Alex, Selasa (1/10/2019).
Selain itu, harapan tersebut menyusul status Sjamsul Nursalim dan Itjih Nursalim yang resmi ditetapkan sebagai Daftar Pencarian Orang (DPO) atau buron.
Mereka berdua sebelumnya tidak kooperatif ketika dipanggil tim penyidik KPK terkait kasus dugaan korupsi SKL BLBI. Keduanya mangkir pada panggilan 28 Juni dan pada 19 Juli lalu.
Namun, jauh sebelum itu Sjamsul dan Itjih tak pernah hadir sebanyak tiga kali pada 2018 silam saat kasus ini masih dalam tahap penyelidikan.
Adapun surat panggilan pemeriksaan telah dikirim ke lima alamat berbeda masing-masing di Indonesia dan Singapura. Di Indonesia, dikirim ke alamat Simprug W.G 9, Grogol Selatan, Jakarta Selatan.
Sementara untuk alamat di Singapura, KPK mengirimkan surat panggilan pemeriksaan ke alamat 20 Cluny Road; Giti Tire Pte. Ltd. (Head Office) 150 Beach Road, Gateway West; 9 Oxley Rise, The Oaxley; dan 18C Chatsworth Rd.
Tak hanya itu, KPK juga sebelumnya telah meminta Kedutaan Besar Republik Indonesia mengumumkannya di papan pengumuman kantor KBRI Singapura.
"Kita tunggu saja [perkembangannya]. Kan kita sudah panggil secara pantas yang bersangkutan tiga kali [tetapi] tidak hadir," kata Alex.
Alex mengatakan bahwa keterangan Sjamsul dan Itjih dibutuhkan untuk menggali lebih dalam terkait perkara SKL BLBI.
Dalam perkara ini, KPK menduga Sjamsul dan Itjih melakukan tindak pidana korupsi terkait dengan piutang petani petambak sebesar Rp4,8 triliun, yang kemudian menjadi dasar kerugian keuangan negara senilai Rp4,58 triliun dari hasil hitungan BPK.
Penetapan Sjamsul dan Itjih berdasarkan hasil pengembangan perkara mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), Syafruddin Arsyad Temenggung.
Saat dilakukan Financial Due Dilligence(FDD) dan Legal Due Dilligence (LDD) disimpulkan bahwa Sjamsul melakukan misrepresentasi dan aset tersebut tergolong macet.
Pada 24 Mei 2007, PT Perusahaan Pengelola Aset melakukan penjualan hak tagih utang petambak plasma senilai Rp220 miliar. Padahal, nilai kewajiban Sjamsul yang seharusnya diterima negara adalah Rp4,8 triliun.
Sjamsul dan Itjih disangka melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.