Bisnis.com, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi menyebut hasil survei penilaian integritas (SPI) tahun 2018 pada kementerian/lembaga/pemerintah daerah (K/L/PD) rata-rata mengalami peningkatan daripada tahun sebelumnya.
KPK melalui fungsi Penelitian dan Pengembangan bekerja sama dengan Badan Pusat Statistik (BPS) merilis hasil survei SPI 2018, di Gedung KPK pada Selasa (1/10/2019).
SPI bertujuan untuk memetakan isu atau permasalahan integritas untuk meningkatkan kesadaran akan risiko korupsi sehingga mendorong untuk melakukan perbaikan sistem pecegahan korupsi.
Dari hasil survei pada 20 pemerintah provinsi dan 6 kementerian/lembaga, nilai Indeks integritas SPI 2018 tertinggi diraih oleh Pemerintah Provinsi Jawa Tengah dengan nilai 78,26 dan terendah adalah Mahkamah Agung dengan nilai indeks integritas 61,11.
Sementara itu, dalam kategori pemerintah daerah, Provinsi Riau memperoleh skor terendah dengan nilai 62,33. Sementara tingkat kementerian, Kementerian Kesehatan meraih angka tertinggi dengan nilai 74,75.
Pada 2017, survei dilakukan terhadap 36 K/L/PD. Pemkot Banda Aceh meraih nilai indeks integritas tertinggi dengan nilai 77,39 dan nilai terendah yaitu 52,91 yang diperoleh Pemprov Papua.
Adapun semakin tinggi angka indeks menunjukan tingkat integritas K/L/PD yang semakin baik. Nilai indeks yang mendekati 100 menunjukan risiko korupsi rendah dan adanya sistem untuk merespon kejadian korupsi dan dan pencegahannya lebih baik.
Direktur Litbang KPK Wawan Wardiana mengatakan bahwa ada peningkatan dari tahun sebelumnya yang rata-rata mencapai 66.
"Sekarang rata-rata 68,75, ada peningkatan dibanding tahun lalu," kata Wawan.
Wakil Ketua Alexander Marwata mengatakan bahwa survei yang dilakukan pada Juli 2017–Juli 2018 tersebut diharapkan dapat meningkatkan Indeks Persepsi Korupsi secara keseluruhan sehingga bisa diintegrasikan dengan capaian monitoring center for prevention (MCP) Korsupgah.
"Apakah sinkron atau tidak? Kalau ternyata nilai MCPnya tinggi tapi nilai SPI nya rendah, bisa jadi administratifnya saja yang baik, tetapi pelaksanaannya belum baik,” katanya.
Alex juga mengatakan bahwa hasil survei ini diharapkan dapat ditindaklanjuti oleh semua peserta baik K/L/PD dengan membuat sistem atau program pencegahan korupsi di instansinya masing-masing.
Adapun aspek yang dinilai dalam SPI antara lain budaya organisasi seperti kejadian suap/gratifikasi/keberadaan calo, sistem antikorupsi seperti sosialisasi antikorupsi/pengaduan pelaku korupsi, pengelolaan SDM seperti nepotisme penerimaan pegawai/promosi jabatan, pengelolaan anggaran seperti penyelewengan anggaran/perjalanan dinas fiktif/honor fiktif.
Survei juga memberikan gambaran umum permasalahan integritas antara lain ditemukan sekitar 22% responden internal pernah mendengar atau melihat keberadaan calo di semua lembaga peserta yang terjadi peningkatan jika dibandingkan dengan tahun 2017 yang sebesar 17%.
Selain itu, sekitar 25% responden internal pernah mendengar atau melihat keberadaan nepotisme dalam penerimaan pegawai, juga meningkat dari tahun 2017 yakni 20%.
Kemudian, sekitar 5,6% responden internal pernah mendengar atau melihat keberadaan suap dalam kebijakan promosi atau meningkat dibandingkan tahun 2017 yang hanya 4%.
Sekitar 21% responden internal juga cenderung percaya bahwa suap atau gratifikasi mempengaruhi kebijakan karir di lembaganya. Terkait gratifikasi, sebanyak 25% responden melihat atau mendengar pegawai menerima suap dan atau gratifikasi. Hasil survei menyebutkan bahwa angka ini turun dari tahun 2017 yang mencapai 30%.
Temuan lainnya adalah 2 dari 10 pegawai menyaksikan pelapor praktik korupsi di unit kerja dikucilkan, diberi sanksi atau karirnya dihambat dalam 12 bulan terakhir.
Selain itu, 2 dari 10 cenderung tidak percaya bahwa melaporkan korupsi akan mendapatkan perlindungan. Nilai yang sama ditemukan pada SPI 2017.
Sebanyak 130 responden terlibat dari kegiatan ini yang terdiri atas 60 responden internal yang merupakan pegawai K/L/PD, 60 responden eksternal yaitu para pengguna layanan dan 10 responden eksper adalah narasumber ahli.
SPI adalah survei tahunan yang telah dimulai sejak 12 tahun lalu, yang mengacu pada metode yang digunakan oleh Anti-Corruption and Civil Rights Commission (ACRC) Korea Selatan dan direkomendasikan oleh Organization for economic Cooperation and Development (OECD).
Metode penilaian ini juga telah diterapkan secara luas di beberapa negara dengan nama integrity assessment dan diakui secara internasional.
Selanjutnya, SPI dan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) akan menjadi prioritas nasional sehingga pemerintah daerah wajib menganggarkan kegiatan ini sesuai Permendagri No.33 Tahun 2019.
Survei tahun 2019 yang akan dilaksanakan tahun 2020 akan melibatkan 542 Pemda dan 84 K/L.