Bisnis.com, JAKARTA -- Menurut Lloyds Business Barometer bisnis Inggris semakin pesimistis terkait masa depan ekonomi bersamaan dengan semakin dekatnya tenggat waktu Brexit 31 Oktober 2019.
Ukuran optimisme bisnis pada September turun ke peringkat terendah sejak dampak langsung dari referendum pada 2016, sedangkan kekhawatiran terhadap risiko Brexit terus meningkat.
"43% dari total pebisnis saat ini memperkirakan bahwa kepergian Inggris dari Uni Eropa akan menyebabkan dampak negatif, meningkat dari 39% pada bulan lalu," seperti dikutip melalui Bloomberg, Senin (30/9/2019).
Survei terhadap 1.200 perusahaan dilakukan sebulan sebelum Inggris berpotensi lepas dari Uni Eropa pada 31 Oktober.
Perdana Menteri Inggris Boris Johnson telah berjanji untuk membawa Inggris keluar dari blok ekonomi tersebut pada tenggat waktu tersebut dengan atau tanpa kesepakatan, memicu kekacauan dalam politik Inggris yang memiliki ekspektasi bahwa no-deal Brexit mungkin saja terjadi.
Sejumlah ekonom, termasuk Barclays dan Bloomber Economics mempertimbangkan kemungkinan no-deal Brexit dalam skenario mereka, yang dikhawatirkan dapat memicu resesi di Inggris dan mendorong inflasi lebih tinggi.
Pembuat kebijakan Bank Sentral Inggris (ECB) Michael Saunders pekan lalu menyampaikan bahwa jika Inggris menghindari kemungkinan no-deal, ketidakpastian yang terlanjur berlangsung lama dapat merusak ekonomi hingga memicu keharusan untuk memangkas suku bunga.
"Bisnis-bisnis yang paling pesimistis umumnya berasal dari Skotlandia, Irlandia Utara, barat daya Inggris dan London," tulis Lloyds.
Ukuran prospek perdagangan perusahaan untuk tahun berikutnya membaik, meskipun tetap di bawah rata-rata jangka panjang. Level staf yang diharapkan juga meningkat setelah penurunan tajam pada Agustus.
Pada perkembangan terbaru, Menteri Keuangan Inggris Sajid Javid memastikan bahwa Inggris akan meninggalkan Uni Eropa pada 31 Oktober, kemungkinan besar dengan sebuah kesepakatan.
"Kami harap akan ada kesepakatan. Meskipun tidak mencapai kesepakatan, Brexit tetap harus terjadi pada 31 Oktober. Ini bukan skenario ideal tapi harus terlaksana," ujarnya seperti dikutip melalui Reuters.
Berulang kali Javid menolak untuk menetapkan bagaimana pemerintah akan mengeksekusi Brexit jika tidak ada kesepakatan yang tercapai mengingat undang-undang yang disahkan parlemen belum lama ini menuntut perdana menteri menunda Brexit dalam skenario potensi no-deal.
"Undang-undang yang telah disahkan oleh parlemen tentu saja telah membuat hal-hal lebih sulit, tetapi kami jelas kebijakan kami sama sekali tidak berubah, kami akan pergi [dari Uni Eropa] pada tanggal 31," kata Javid.