Bisnis.com, JAKARTA — PT Bangun Cipta Kontraktor, perusahaan konstruksi nasional, membantah memiliki utang kepada Hawkins Infrastructure Limited dalam proyek Karaha.
Bangun Cipta Kontraktor (BCK) justru kaget dengan munculnya gugatan pailit yang dilayangkan oleh Hawkins Infrastructure Limited (HIL), perusahaan asing dari Selandia Baru. BCK mengklaim telah menyelesaikan kewajibannya, sedangkan HIL belum melakukan tugasnya.
Stefanus Haryanto dari AKHH Lawyers selaku kuasa hukum BCK mengatakan selama lebih dari empat dasawarsa menjalankan bisnis kontruksi dan telah ikut berkontribusi dalam pembangunan berbagai proyek infrastruktur di Indonesia, BCK selalu menjalankan bisnis secara prudent dan mengikuti aturan yang ada.
“Terkait dengan gugatan pailit ini, dapat kami sampaikan bahwa BCK telah menjalankan kewajiban terhadap para pihak sesuai dengan porsinya. Sehingga menurut kami, gugatan pailit ini tidak berdasar,” ujar Stefanus dalam keterangan resmi yang diterima Bisnis.com, Rabu (25/9/2019).
Karaha merupakan proyek engineering, procurement, construction (EPC) yang tendernya dimenangkan oleh konsorsium yang terdiri dari HIL dan Alstom Power Systems SA dan PT Alstom Power Systems Indonesia. Untuk pekerjaan desain dan pengadaan yang kemudian disebut sebagai offshore project, disubkontrakkan kepada HIL Singapore Ltd.
Sedangkan untuk pekerjaan konstruksi yang dikenal sebagai onshore project dikerjakan melalui kerja sama operasi antara HIL dan BCK, di mana porsi BCK hanya 30%, sementara HIL sebesar 70%.
Dalam pelaksanaannya, HIL tidak mampu mengerjakan offshore project dengan baik karena desain proyek mengalami penundaan dan perubahan berkali-kali. Hal ini tentu berpengaruh pada pelaksanaan onshore project, karena pekerjaan konstruksi akan tergantung pada desain proyek.
Ketidakmampuan HIL dalam mengerjakan desain itu menyulut pembengkakan biaya terutama untuk offshore project. Namun HIL secara sepihak membebankan beban biaya offshore project itu kepada joint operation dengan BCK.
“Tentu saja BCK keberatan dan menolak menanggung biaya untuk offshore project, karena joint operation hanya untuk mengerjakan onshore project,” kata Stefanus. Untuk tindakan HIL yang melakukan mixing costs tersebut, BCK bahkan telah membuat laporan polisi pada 18 Agustus 2017.
Kejanggalan lain, lanjut Stefanus, jika benar BCK memiliki utang sebagaimana didalilkan dalam permohonan pailitnya, HIL akan meneruskan perkara Arbitrase No. 401 of 2017 di forum arbitrase Singapore International Arbitration Center.
Namun, setelah BCK menanggapi permohonan arbitrase, HIL tetap tidak membayar biaya arbitrase meskipun telah ditagih hingga sebelas kali. Ujungnya pada 12 November 2018, SIAC menggugurkan perkara tersebut.
“Sepertinya HIL paham bahwa gertakannya tidak mempan, karena justru BCK yang telah bersiap untuk menuntut balik atas kerugian yang dideritanya akibat perbuatan HIL mencampuradukkan biaya antara offshore project yang merupakan tanggung jawabnya sendiri dengan onshore project yang merupakan tanggung jawab joint operation dengan BCK.”
Saat ini, BCK juga telah membayar 30% dari tagihan dari para pemasok atau vendor yang terlibat dalam proyek tersebut. Sedangkan HIL sampai saat ini belum melakukan tanggung jawabnya kepada para pemasok tersebut.