Kabar24.com, JAKARTA — Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Fadli Zon mengusulkan agar sejarah Indonesia perlu ditulis ulang terutama setelah melihat dan mencermati kajian-kajian tentang Indonesia.
Menurutnya, Indonesia tidak pernah dijajah selama 350 tahun oleh Belanda sehingga pemahaman itu perlu diluruskan untuk generasi mendatang.
Hal itu disampaikan Fadli saat menghadiri bedah buku Indonesia Tidak Pernah Dijajah karya Batara R Hutagalung.
Lewat buku itu, katanya Batara berani ingin meluruskan sejarah dan fakta-fakta yang selama ini dipercayai oleh Bangsa Indonesia dan juga dunia bahwa Indonesia pernah dijajah Belanda selama 350 tahun.
"Buku 'Indonesia Tidak Pernah Dijajah' sangat tepat diluncurkan setelah perayaan HUT RI ke-74. Sehingga dapat mengigatkan masyarakat pada sejarah, apakah benar Indonesia terjajah. Karena yang dijajah waktu itu adalah kesultanan-kesultanan, belum menjadi Indonesia. Kalaupun kita dijajah jangan-jangan sekarang kita dijajah," ujarnya dikutip dari keterangan resmi DPR, Rabu (21/8/2019).
Fadli mengakui mengenal Batara sejak 20 tahun lalu. Batara punya fokus pada sejarah Indonesia dan terus memperjuangkan utang kehormatan Belanda sebagai Ketua Umum Komite Utang Kehormatan Belanda (KUB), karena Belanda memiliki banyak utang atas pelanggaran-pelanggaran HAM yang dilakukan di masa lampau.
Bahkan, sampai saat ini, Belanda tidak mengakui kemerdekaan Indonesia secara de jure, yakni 17 Agustus 1945. Belanda hanya mengakui secara de facto.
“Dan meski sudah puluhan tahun berlalu, hal ini menjadi PR [pekerjaan rumah] untuk terus diperjuangkan,” imbuhnya.
Fadli percaya bahwa buku ini lahir secara organik dari penelitian Batara, karena seorang sejarawan sejati tidak hanya membaca buku intelektual mainstream, tetapi juga harus mengasah pisaunya sendiri untuk benar-benar menguak sejarah.
“Pak Batara juga seorang sejarawan yang aktif. Bukan tipe yang berdiri di menara gading. Dia mengungkapkan bagaimana perjalanan bangsa menentukan positioning kita lewat sejarah,” katanya.
Peluncuran itu pun dihadiri oleh sejarahwan senio Taufik Abdulah, Makarin Wibison, dan Guru Besar Universitas Hasanuddin Makassar Marthen Napang