Bisnis.com, JAKARTA -- Ekspor Jepang mencatatkan penurunan selama 8 bulan berturut-turut pada Juli di tengah perlambatan pertumbuhan ekonomi dan pertempuran perdagangan yang meningkatkan kekhawatiran akan resesi global.
Kementerian Keuangan Jepang melaporkan nilai pengiriman luar negeri turun 1,6% secara tahunan pada Juli, terseret oleh pengiriman suku cadang mobil dan peralatan produksi semikonduktor ke China.
Sementara itu, neraca perdagangan Negeri Sakura tersebut mencatatkan defisit sebesar 249,6 miliar yen atau senilai US$2,34 miliar.
Ini menandai penurunan ekspor jangka panjang sejak rekor penurunan 14 bulan dari Oktober 2015 hingga November 2016. Namun ada beberapa harapan bagi para eksportir, karena pada saat yang sama volume ekspor dilaporkan naik 1,5% secara tahunan.
Secara terpisah, survei Reuters Tankan menunjukkan kepercayaan bisnis pabrikan Jepang berubah negatif untuk pertama kalinya sejak April 2013 pada Agustus.
“Kesan saya adalah kenaikan volume ekspor secara tahun ke tahun sedikit lebih kuat dari yang diharapkan. Ini merupakan kabar yang positif karena penurunan ekspor adalah masalah terbesar yang dihadapi oleh ekonomi Jepang, "kata Taro Saito, rekan peneliti eksekutif di NLI Research Institute, seperti dikutip melalui Reuters, Senin (19/8/2019).
Namun, Saito menambahkan bahwa akan sulit bagi ekspor untuk pulih pada masa mendatang, karena tidak ada solusi yang terlihat untuk perang perdagangan AS-China, sedangkan ekonomi dan manufaktur global tetap lemah.
Pembacaan data perdagangan yang negatif menggarisbawahi prospek ekonomi Jepang yang makin suram bahkan ketika data pada kuartal kedua menunjukkan sedikit perbaikan.
Produk domestik bruto tumbuh lebih cepat dari yang diharapkan pada April-Juni menandai ekspansi selama 3 kuartal berturut-turut karena konsumsi domestik yang kuat dan investasi bisnis mengimbangi kontribusi negatif dari permintaan eksternal.
Meskipun aktivitas sektor jasa tetap kuat di Jepang, meningkatnya ketegangan perdagangan internasional telah menyebabkan sentimen produsen memburuk.
Analis Capital Economics mengatakan mereka memperkirakan impor akan terus melebihi ekspor karena konsumen terlihat memajukan permintaan menjelang kenaikan pajak penjualan yang direncanakan pada Oktober.
"Hasilnya adalah perdagangan bersih dapat tetap menjadi hambatan pada pertumbuhan pada kuartal ketiga," tulis para analis dalam catatan kepada klien.
Kecemasan tentang pelemahan ekonomi global meningkat baru-baru ini setelah inversi dalam kurva imbal hasil tresuri AS menyiratkan risiko yang makin besar pada resesi di negeri Paman Sam, dan data menunjukkan ekonomi Jerman dalam kontraksi sementara China juga memburuk.
Ekspor ke China, mitra dagang terbesar Jepang, menyusut 9,3% secara tahunan pada Juli, untuk 5 bulan berturut-turut.
Data juga menunjukkan bahwa kontraksi tersebut dipimpin oleh penurunan yang cukup besar yaitu sebesar 31,5% pada peralatan produksi semikonduktor, 35% pada suku cadang mobil dan 19% pada suku cadang elektronik.
Menurut para analis, ekspor produsen ke semikonduktor dan komponen elektronik China merosot karena lonjakan permintaan menjelang larangan AS terhadap pembelian alat telekomunikasi dari Huawei Technologies Co Ltd. mulai [HWT.UL] mulai meredup.
Pengiriman ke Asia, yang menyumbang lebih dari setengah ekspor keseluruhan Jepang, turun 8,3% sepanjang tahun ini hingga Juli.
Ekonomi yang bergantung pada ekspor seperti Jepang telah menderita akibat deretan tarif perdagangan China-AS, yang telah mengganggu rantai pasokan dan merusak iklim perdagangan, investasi, dan pendapatan perusahaan secara global.
Di samping itu, Jepang juga terlibat dalam pertikaian dagang yang makin intensif dengan Korea Selatan, yang mengancam akan merusak prospek pabrikan Jepang.