Bisnis.com,JAKARTA - Koalisi masyarakat sipil meminta Presiden Joko Widodo untuk turun tangan dalam proses pemilihan anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Proses seleksi anggota BPK yang sedang berlangsung di DPR pun diminta untuk diulang.
Dorongan tersebut dilakukan karena koalisi yang merupakan gabungan sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) seperti Indonesia Corruption Watch (ICW), Fitra, CITA, Medialink, dan Indonesia Budget Center, menganggap proses seleksi yang sedang berlangsung saat ini belum transparan dan akuntabel.
"Presiden Joko Widodo sebagai kepala negara memiliki perhatian khusus pada seleksi calon anggota BPK demi mendapatkan anggota BPK yang berkualitas," tulis keterangan resmi, Jumat (9/8/2019).
Tak hanya itu, mereka juga meminta Komisi XI DPR mengulang proses seleksi calon anggota BPK dengan mekanisme yang lebih transparan dan akuntabel, salah satunya dengan membentuk panitia seleksi (pansel).
"Keterlibatan Komisi Pemberantasan Korupsi [KPK] dan publik harus dibuka seluas-luasnya untuk melakukan pengawasan dan memberikan masukan terhadap proses seleksi," imbuhnya.
Dalam hal ini, KPK dapat mengawasi sehingga tidak terjadi transaksi suap dan money politic, serta publik dapat memberikan masukan mengenai latar belakang pendaftar sehingga mencegah orang-orang bermasalah dan mempunyai atensi pribadi menempati posisi strategis dalam BPK.
Baca Juga
Adapun, dalam pantauan ICW ada 8 kasus dugaan suap yang melibatkan auditor atau staf BPK sepanjang 2004-2017. Tiga kasus pelanggaran kode etik BPK dilakukan oleh Ali Masykur Musa (anggota BPK) pada 2014, Efdinal (Kepala BPK Perwakilan Jakarta dan Auditor) pada 2015, dan Harry Azhar (Ketua dan Anggota BPK) pada 2016. Kondisi ini dapat terus berulang jika kualitas dan integritas anggota BPK tidak diperbaiki dan disaring sejak awal seleksi.
Fitra juga mengkaji kinerja BPK berdasarkan IHPS II 2018. Tingkat penyelesaian ganti kerugian negara selama periode 2005-2018 menunjukkan ada ganti kerugian negara dengan angsuran senilai Rp231,23 miliar (8%), pelunasan senilai Rp872,18 miliar (31%), dan penghapusan senilai Rp77,05 miliar (3%).
Dengan demikian, sisa kerugian senilai Rp1,62 triliun (58%). Artinya terdapat lebih 50% kerugian negara yang belum mendapatkan ganti rugi dari auditee.
Selain itu, hasil pemantauan terhadap pelaksanaan TLRHP per 31 Desember 2018 atas LHP yang diterbitkan periode 2005-2018 menyatakan bahwa BPK telah menyampaikan 512.112 rekomendasi kepada entitas yang diperiksa senilai Rp280,34 triliun. Jika diperinci, rekomendasi belum sesuai dengan rekomendasi sebanyak 97.853 (19,1%) senilai Rp94,81 triliun dan rekomendasi belum ditindaklanjuti sebanyak 23.383 (4,6%) senilai Rp19,89 triliun.
Secara kumulatif, rekomendasi BPK atas hasil pemeriksaan periode 2005-2018 telah ditindaklanjuti entitas dengan penyerahan aset dan atau penyetoran uang ke kas negara/daerah/perusahaan sebesar Rp85,82 triliun. Dari total potensi kerugian negara Rp280 triliun baru Rp85 triliun yang berhasil disetorkan ke kas negara. Hal ini menunjukkan adanya persoalan daya dorong BPK yang belum maksimal dalam mendorong auditee untuk merespons rekomendasi BPK.