Bisnis.com, JAKARTA - Kalangan praktisi hukum menilai caleg Partai Gerindra Rahayu Saraswati Djojohadikusumo berhak berposisi sebagai pihak terkait dalam perkara sengketa hasil Pileg 2019.
Di Mahkamah Konstitusi (MK), Rahayu telah mengajukan diri sebagai pemohon dalam Perkara No. 150-02-11/PHPU.DPR-DPRD/XVII/2019 untuk menggugat penetapan hasil Dapil DKI Jakarta III.
Namun, dia juga mendaftar sebagai pihak terkait dalam Perkara No. 174-04-11/PHPU.DPR-DPRD/XVII/2019 yang diajukan oleh Partai Golkar.
Langkah keponakan Ketua Umum DPP Gerindra Prabowo Subianto tersebut keluar dari pekem hukum acara yang tercantum dalam PMK No. 2/2018 tentang Tata Beracara dalam Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Menurut beleid itu, pihak terkait harus menyatakan dalam petitumnya bahwa keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah benar.
Alih-alih sepakat dengan KPU, Rahayu sebagai pihak terkait dalam Perkara No. 174-04-11//PHPU.DPR-DPRD/XVII/2019 malah meminta MK membatalkan keputusan lembaga penyelenggara pemilu tersebut.
Dia meminta pula agar ditetapkan sebagai anggota DPR terpilih meskipun faktanya hanya mengumpulkan suara terbanyak kedua di internal Gerindra.
Mantan Wakil Ketua MK Mohamad Laica Marzuki berpandangan langkah Rahayu dapat dibenarkan dalam rangka menuntut hak konstitusional sebagai warga negara.
Menurutnya, Rahayu tidak mungkin menyatakan hasil KPU benar karena mempunyai penghitungan suara berbeda dengan termohon maupun pemohon.
Laica lantas membandingkan praktik pengadilan perdata yang mengenal pihak ketiga sebagai pihak intervensi voeging (menyertai) dan tussenkomst (menengahi). Dalam perkara yang dimohonkan Golkar, dia menilai Rahayu berperan sebagai tussenkomst dan memiliki petitum sendiri.
“Dalam situasi semacam ini, dia selaku pihak ketiga berhak membuktikan penghitungan suaranya yang dipandang benar di hadapan Mahkamah,” kata Laica saat memberikan keterangan sebagai ahli dalam sidang di Jakarta, Senin (29/7/2019).
Kendati secara hukum acara tidak dimungkinkan, Laica mendorong MK untuk berani keluar dari ketentuan formil tersebut. Pasalnya, menurut dia, persidangan di MK, termasuk sengketa hasil pemilu, adalah pengadilan konstitusi untuk menegakkan hak konstitusional warga negara.
“Konstitusi adalah kaidah hukum tertinggi. Tatkala menyangkut hak konstitusional, Mahkamah dapat mengesampingkan prosedur,” tutur Guru Besar Emeritus Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Makassar, ini.
Perkara No. 174-04-11/PHPU.DPR-DPRD/XVII/2019 dimohonkan oleh Golkar yang keberatan dengan penghitungan suara di Dapil DKI Jakarta III. KPU menetapkan Golkar mengumpulkan 80.414 suara sehingga tidak kebagian alokasi kursi DPR.
Golkar lantas membidik Partai Amanat Nasional (PAN) yang meraup 123.537 suara dan berhak atas kursi satu DPR yang digenggam oleh Abraham Lunggana alias Haji Lulung. Namun, dalil Golkar ternyata tidak semata menyusutkan suara PAN, tetapi juga perolehan suara partai lain, termasuk Gerindra.
Menurut Golkar, perolehan Gerindra di Dapil DKI Jakarta III hanya 339.631 suara, sedangkan KPU menetapkan 344.131 suara. Klaim Golkar tersebut memang tidak mengurangi jatah Gerindra sebanyak satu kursi DPR.
Namun, Rahayu atas nama Gerindra tetap tidak menerima sehingga mengajukan diri sebagai pihak terkait. Padahal, Rahayu juga telah bertindak sebagai pemohon dalam Perkara No. 150-02-11/PHPU.DPR-DPRD/XVII/2019.
Keganjilan posisi Rahayu sebagai pihak terkait bukannya tak disadari oleh MK. Ketika memeriksa keterangan kuasa hukum pihak terkait pada 16 Juli, Hakim Konstitusi Arief Hidayat mengaku belum pernah menemukan model pihak terkait ala Rahayu dalam perkara sengketa hasil pileg sebelumnya.
“Ini aneh filosofinya. Agak kaget juga ternyata kok begini. Tapi ini nanti akan dinilai,” kata Arief.
Meski demikian, strategi Rahayu mengajukan diri sebagai pihak terkait terbukti berfaedah. Sebagai pihak terkait, dia malah diberikan kesempatan oleh MK untuk menghadirkan seorang saksi dan ahli.
Sebaliknya, sebagai pemohon Perkara No. 150-02-11/PHPU.DPR-DPRD/XVII/2019, Rahayu tidak disertakan MK ke tahapan pembuktian yang dapat menghadirkan saksi dan ahli. Perkara tersebut, dalam sidang dismissal pekan lalu, dinyatakan langsung masuk ke tahapan pembacaan putusan.