Kabar24.com, JAKARTA — Risiko tindak pidana korupsi di Indonesia terbilang masih cukup tinggi jika melihat hasil kajian yang dilakukan Transparency International Indonesia (TII) terhadap Strategi Nasional Pencegahan Korupsi (Stranas PK).
Stranas PK diatur dalam Peraturan Presiden No. 54 Tahun 2018 tentang Strategi Nasional Pencegahan Korupsi, merupakan salah satu langkah pemerintah dalam memerangi korupsi melalui sektor pencegahan.
Perpres itu merupakan pengganti dari Perpres sebelumnya, yaitu Perpres No. 55/2012 tentang Strategi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi (Stranas PPK).
Peneliti TII Wawan Suyatmiko mengatakan TII bersama Civil Society Organization (CSO) di empat daerah (Makassar, Malang, Semarang dam Pekanbaru) melakukan monitoring dan evaluasi implementasi Stranas.
Dalam implementasi selama lebih kurang 8 bulan tersebut, kata dia, masyarakat sipil dirasa perlu melakukan monitoring dan evaluasi dari implementasi Stranas PK tersebut. Alasannya, agar masyarakat sipil dapat terlibat dan sejauh mana dalam proses implementasi tersebut.
Dalam penyusunannya, Wawan mengatakan terdapat tiga klaster di mana masing-masing klaster terdapat dua dimensi. Ketiga klaster tersebut adalah risiko korupsi dengan dimensi pendukung potensi korupsi dan dampak korupsi.
Kemudian, partisipasi masyarakat sipil dengan dimensi pendukung akses dan kapasitas masyarakat sipil, serta klaster dampak antikorupsi dengan dimensi pendukungnya program antikorupsi dan capaian program antikorupsi.
Adapun alat tersebut menggunakan sistem poin dengan rentang 0-4 di mana poin 0 sama dengan tidak ada, dan poin 4 sangat tinggi.
"Hasilnya, dari keempat daerah tersebut secara rerata masyarakat sipil menilai bahwa risiko korupsi dianggap sangat tinggi. Risiko korupsi yang tinggi meliputi pada tiga fokus area yang terdapat dalam Stranas PK," kata Wawan, Jumat (26/7/2019).
Dari hasil itu, Wawan mengatakan potensi dan dampak korupsi masing masing mempunyai rerata 3.82 dan 3.93.
Di sisi lain, partisipasi masyarakat sipil masih dianggap cenderung rendah, dari dua dimensi penyusunnya yaitu akses dan kapasitas masyarakat sipil masing-masing 1,47 dan 2,41 poin. Pada klaster dampak antikorupsi, masih cenderung rendah.
Dari dua dimensi penyusunnya yaitu program antikorupsi dan capaian program antikorupsi, lanjut Wawan, masing-masing mendapat 2,19 dan 3,04 poin.
Adapun pada isu prioritas Stranas KPK, risiko korupsi tertinggi ada pada keuangan negara (3.98 poin). Pada klaster partisipasi masyarakat, poin tertinggi di dapat pada kapasitas masyarakat pada fokus penegakan hukum dan reformasi (2,91).
"Di mana masyarakat lebih proaktif dalam mengawal isu-isu penegakan hukum dan reformasi birokrasi. Namun demikian pada partisipasi masyarakat sipil dapat dikatakan masih dalam cenderung rendah," katanya.
Sementara itu pada klaster dampak antikorupsi, point tertinggi pada capaian program antikorupsi. Di mana pada dimensi tersebut poin tertinggi 3.13 di sektor penegakan hukum dan reformasi birokrasi.
Atas temuan itu, TII menyimpulkan risiko korupsi yang tinggi di sektor perizinan dan tata niaga, keuangan negara serta penegakan hukum dan reformasi birokrasi.
TII juga merekomendasikan agar KPK bersama anggota Tim Nasional Stranas PK perlu melakukan sosialiasi dan diseminasi tentang keberadaan Stranas PK secara luas kepada pemerintah daerah dan masyarakat.
Selanjutnya, KPK dan Timnas juga perlu mendorong entitas pemerintah daerah terbuka pada setiap proses penyusunan kebijakan yang melibatkan masyarakat sipil secara transparan, akuntabel dan partisipatif.