Bisnis.com, JAKARTA - Terdapat akal-akalan untuk memuluskan izin reklamasi di Tanjung Piayu, Batam, untuk pembangunan resort dan kawasan wisata seluas 10,2 hektare, yang merupakan masuk dalam area kawasan budidaya dan hutan lindung.
Akalan-akalan tersebut dibuat agar seolah-olah terlihat seperti fasilitas budidaya dengan membangun restoran dengan keramba sebagai budi daya ikan di bagian bawahnya.
Padahal, kawasan itu sejatinya akan dibangun sebuah resort dan kawasan wisata seluas 10,2 hektare yang izinnya dimuluskan dengan cara suap.
Awalnya, Pemerintah Provinsi Kepri mengajukan pengesahan Peraturan Daerah (Perda) Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RzWP3K) Provinsi Kepri untuk dibahas di Paripurna DPRD Kepri. Keberadaan Perda ini akan menjadi acuan dan dasar hukum pemanfaatan Pengelolaan wilayah kelautan Kepri.
Terkait dengan RZWP3K Provinsi Kepri, terdapat beberapa pihak yang mengajukan permohonan izin pemanfaatan laut untuk proyek reklamasi untuk diakomodir dalam RZW3K Prov. Kepri.
Pada Mei 2019, seorang swasta Abu Bakar mengajukan izin pemanfaatan laut untuk melakukan reklamasi di Tanjung Piayu, Batam untuk pembangunan resort dan kawasan wisata seluas 10,2 hektare.
Baca Juga
Padahal, Tanjung Piayu merupakan area yang memiliki diperuntukkan sebagai kawasan budidaya dan hutan lindung.
Gubernur Kepulauan Riau Nurdin Basirun kemudian memerintahkan Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Edy Sofyan; Kepala Bidang Perikanan Tangkap, Budi Hartonountuk membantu Abu Bakar supaya izin yang diajukan segera disetujui.
Untuk mengakali hal tersebut, Budi memberitahu Abu Bakar supaya izinnya disetujui, maka dia harus menyebutkan akan membangun restoran dengan keramba sebagai budi daya ikan di bagian bawahnya.
"Upaya ini dilakukan agar seolah-olah terlihat seperti fasilitas budidaya," kata Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Basaria Panjaitan, Kamis (11/7/2019).
Setelah itu, Budi memerintahkan Edy untuk melengkapi dokumen dan data dukung agar izin Abu Bakar tersebut segera disetujui.
Namun, dokumen dan data dukung yang dibuat Edy tidak berdasarkan analisis apapun dan hanya melakukan copy paste dari daerah lain dengan tujuan mempercepat selesai persyaratan.
Dalam prosesnya, ada penyerahan uang dari Abu Bakar kepada Nurdin Basirun baik secara langsung maupun melalui perantara Edy dan Budi secara bertahap.
Rinciannya, pada 30 Mei 2019 sebesar SGD5.000 dan Rp45 juta. Kemudian pada 10 Juli 2019 memberikan tambahan uang sebesar SGD6.000.
"Pada 31 Mei 2019, terbit izin prinsip reklamasi untuk Abu Bakar untuk luas 10,2 hektare," ujar Basaria.
KPK pun kemudian menetapkan Nurdin sebagai tersangka suap terkait dengan izin prinsip dan lokasi pemanfaatan laut, proyek reklamasi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil Kepulauan Riau Tahun 2018/2019.
Kemudian, Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan, Edy Sofyan; dan Kepala Bidang Perikanan Tangkap, Budi Hartono. Sementara diduga sebagai pemberi suap adalah seorang swasta bernama Abu Bakar.
Atas perbuatannya, Nurdin disangka melanggar Pasal 12 huruf a atau huruf b atau Pasal 11, dan Pasal 12 B UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.
Sementara Edy dan Budi disangka melanggar Pasal 12 huruf a atau huruf b atau Pasal 11 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.
Adapun Abu Bakar, disangka melanggar pasal 5 ayat (1) huruf a atau huruf b atau Pasal 13 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tundak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) Re 1 KUHP.