Bisnis.com, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi terus mendalami kasus BLBI dan penerbitan surat-surat dan pihak-pihak yang terkait dengan hal itu.
KPK di antaranya mendalami peran dan pengetahuan saksi Dorodjatun Kuntjoro-Jakti soal surat-surat yang diterbitkan oleh Komite Kebijakan Sektor Keuangan, KKSK.
Dorodjatun merupakan mantan Menteri Koordinator Perekonomian sekaligus mantan Ketua Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK).
"KPK mendalami peran dan pengetahuan saksi sebagai Menko Perekenomian RI sekaligus sebagai Ketua KKSK 2001-2004. Di antaranya surat-surat yang diterbitkan KKSK saat itu," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah saat dikonfirmasi di Jakarta, Kamis (4/7/2019).
KPK pada Kamis memeriksa Dorodjatun sebagai saksi untuk tersangka pemegang saham pengendali Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) Sjamsul Nursalim (SJN).
KPK melakukan penyidikan atas kasus korupsi proses pemenuhan kewajiban pemegang saham Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) selaku obligor Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) kepada Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN).
Pemeriksaan Dorodjatun pada Kamis ini merupakan penjadwalan ulang setelah sebelumnya yang bersangkutan tidak dapat memenuhi panggilan KPK pada Selasa (2/7).
Usai diperiksa, Dorodjatun memilih irit bicara saat dikonfirmasi awak media soal materi pemeriksaannya kali ini.
"Tanya KPK saja lah, pokoknya selesai pemeriksaan sebagai saksi saja," kata Dorodjatun.
Sjamsul bersama istrinya Itjih Nursalim (ITN) merupakan tersangka dalam kasus BLBI tersebut. KPK telah menetapkan keduanya sebagai tersangka pada 10 Juni 2019.
Sebelumnya, Sjamsul dan Itjih tidak memenuhi panggilan KPK pada Jumat (28/6) untuk diperiksa sebagai tersangka. KPK tidak memperoleh informasi alasan ketidakhadiran dua tersangka itu.
Sjamsul dan Itjih diduga melakukan misrepresentasi terkait dengan piutang petani petambak sebesar Rp4,8 triliun.
Misrepresentasi tersebut diduga telah mengakibatkan kerugian keuangan negara sebesar Rp4,58 triliun. Saat dilakukan Financial Due Dilligence (FDD) dan Legal Due Dilligence (LDD) disimpulkan bahwa aset tersebut tergolong macet dan hanya memiliki hak tagih sebesar Rp220 miliar.
Atas perbuatan tersebut, Sjamsul dan Itjih disangka melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.