Bisnis.com,JAKARTA- Indonesia Corruption Watch mendesak penegak hukum mengusut dugaan pencucian uang yang melibatkan Setya Novanto.
Kurnia Ramadhana dari Indonesia Corruption Watch (ICW) mengatakan bahwa Setya Novanto yang terlihat berpelesiran ke Padalarang, Bandung merupakan fenomena gunung es para terpidana korupsi yang bebas keluar masuk lembaga pemasyarakatan.
Tidak sedikit, tuturnya, para koruptor yang masih menikmati berbagai fasilitas sebagai hasil dari suap menyuap di lembaga pemasyarakatan.
“Di lain sisi penegak hukum juga berkontribusi terhadap banyaknya koruptor yang masih dapat menikmati uang korupsinya meskipun sedang berada di balik jeruji," ujar Kurnia.
Hal tersebut tergambar dari catatan ICW mengenai penindakan kasus korupsi yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi.
Berdasarkan catatan Indonesia Corruption Watch selama tahun 2016 hingga 2018 hanya 15 perkara korupsi yang dikenakan pasal pencucian uang dari 313 perkara.
"Ini memperlihatkan bahwa visi mengenai asset recovery belum menjadi prioritas,” ujar Kurnia, Jumat (21/6/2019) menyangkut kinerja Komisi Antirasuah.
Kurnia melanjutkan, dampak yang timbul karena tidak diterapkannya perampasan aset terhadap koruptor yaitu terjaringnya Kepala Lapas Sukamiskin, Wahid Husen bersama dengan koruptor kasus korupsi Bakamla, Fahmi Darmawansyah dalam operasi tangkap tangan yang dilakukan KPK.
Kejadian tersebut, ujar Kurnia, menunjukkan bahwa koruptor yang berada di dalam Lapas sekalipun masih memiliki sumber daya ekonomi untuk membayar fasilitas mewah di dalam sel.
Dalam kasus KTP-el yang nilai kerugian negaranya sekitar Rp2,3 triliun, papar Kurnia, pengembalian uang korupsinya hanya sekitar Rp500 miliar. Hal ini menunjukkan bahwa upaya asset recovery jauh panggang dari api.
"Maka dari itu tidak heran jika Setya Novanto dapat melenggang bebas ke toko bangunan," ujar Kurnia sembari menyebut perbandingan antara nilai kerugian negara yang timbul dengan pengembaliannya yang masih sangat timpang.
“Keterkaitan pencucian uang dengan korupsi pada dasarnya sangat erat, baik dari segi yuridis maupun realitas. Untuk yuridis sendiri korupsi secara spesifik disebutkan sebagai salah satu predicate crime dalam Pasal 2 UU TPPU. Ini mengartikan bahwa pencucian uang salah satunya dapat diawali dengan perbuatan korupsi. Oleh sebab itu prinsip follow the money harus dilakukan pada setiap kasus agar Political Expose Person dapat terbongkat,” ucap Kurnia.
Selain itu, tuturnya, realitas saat ini menunjukkan bahwa para pelaku korupsi akan selalu berusaha untuk menyembunyikan harta yang didapatkan dari praktik-praktik rasuah. Dengan disembunyikannya harta tersebut maka seharusnya Pasal TPPU dapat dikenakan pada setiap pelaku korupsi, tak terkecuali Setya Novanto.
UU TPPU juga mengakomodir sebuah instrumen yang dapat memaksimalkan pemulihan kerugian negara. Pasal 77 UU TPPU memungkinkan untuk menggunakan model pembalikan beban pembuktian, beban pembuktian ada pada terdakwa untuk menjelaskan asal usul hartanya. Jika itu tidak dapat dijelaskan maka dapat dijadikan pertimbangan bagi hakim untuk merampas harta tersebut.
Oleh karena itu, menurut Kurnia, KPK harus segara merealisasikan pernyataan yang pernah disampaikan pada saat penuntutan korupsi KTP-el bulan Maret 2018 terhadap terdakwa Setya Novanto.
Jaksa dari KPK menyampaikan bahwa kasus yang melibatkan Setya Novanto bercitarasa pencucian uang sebab telah tergambar pola transaksi yang dilakukannya yaitu melalui Money Changer.