Kabar24.com, JAKARTA — Adu pendapat apakah anak usaha badan usaha milik negara atau BUMN masuk klasifikasi BUMN atau tidak tampaknya bakal menjadi materi perdebatan dalam sidang sengketa hasil Pilpres 2019 di Mahkamah Konstitusi.
Indikasi itu sudah dimunculkan oleh pemohon sengketa, pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Salahuddin Uno, dalam berkas perbaikan permohonan yang diajukan di Jakarta, Senin (10/6/2019).
Dalil baru Prabowo-Sandi adalah sang rival, Joko Widodo-Ma’ruf Amin, tidak memenuhi syarat pencalonan Pilpres 2019 sehingga harus didiskualifikasi.
Alasan pemohon, Ma’ruf masih terdaftar sebagai pejabat di BUMN. Perusahaan yang dimaksud adalah PT Bank Syariah Mandiri (BSM) dan PT Bank BNI Syariah.
Di dua bank syariah itu, Ma’ruf menjabat sebagai Ketua Dewan Pengawas Syariah (DPS) yang salah satu fungsinya memberikan nasihat dan saran kepada direksi serta mengawasi kegiatan bank agar sesuai dengan prinsip syariah.
Situs resmi BSM dan BNI Syariah memang mengonfirmasi argumen Prabowo-Sandi mengenai aktifnya Ma’ruf.
Laporan Tahunan 2018 dua bank tersebut juga mencantumkan Ma’ruf tetap berposisi sebagai Ketua DPS sampai penghujung tahun lalu.
Padahal, Ma’ruf mendaftar sebagai calon wakil presiden pada Agustus 2018. Dia pun telah melampirkan surat pernyataan yang dapat diunduh di laman resmi Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang menyertakan pemenuhan persyaratan sebagai peserta Pilpres 2019.
Kendati surat pernyataan tersebut bertanda tangan di atas materai, tidak ada tanda centang pada poin 12 kolom (d) yang berisi pernyataan mengundurkan diri serbagai karyawan atau pejabat BUMN atau badan usaha milik daerah (BUMD) sejak ditetapkan sebagai pasangan calon.
Sama halnya dengan kolom BUMN, dia juga tidak memberikan centang pada kolom pengunduran diri sebagai anggota Tentara Nasional Indonesia (a), Polri (b), dan pegawai negeri sipil atau PNS (c).
Sebagaimana diketahui khalayak, Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) itu memang bukan anggota TNI, Polri, maupun PNS.
Lagi pula, usia Ma’ruf (76 tahun) sudah pasti memasuki masa pensiun bila pun pernah berkutat dengan tiga profesi tersebut.
Masuk akal pula bila Ma’ruf tidak perlu menyatakan mundur dari instansi yang tidak pernah dia masuki.
Lalu bagaimana dengan BUMN atau BUMD? Kewajiban mundur dari perusahaan pelat merah merupakan ketentuan dalam Pasal 227 huruf p UU No. 7/2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu).
Dengan alasan adanya kewajiban tersebut, kubu Prabowo-Sandi hendak mengatakan bahwa BSM dan BNI Syariah adalah BUMN.
Konsekuensinya, jika masih tergabung di dalamnya, adalah diskualifikasi Ma’ruf dan pasangannya sebagai peserta Pilpres 2019.
Untuk mengetahui sahih-tidaknya dalil itu, UU No. 19/2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (UU BUMN) perlu jadi rujukan.
Pasal 1 ayat (1) beleid tersebut menyebutkan bahwa BUMN adalah ‘badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan.’
Lantaran BSM dan BNI Syariah berstatus perseroan terbatas, UU No. 40/2007 tentang Perseroan Terbatas (UU PT) mencantolkan apa gerangan PT itu.
Dalam Pasal 1 ayat (1) beleid tersebut, PT adalah ‘badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam UU ini serta peraturan pelaksanaannya.’
Dengan demikian, modal PT dinyatakan dalam bentuk saham. Kepemilikan saham BSM dan BNI Syariah sebagaimana dikutip dari Laporan Tahunan 2018 adalah sebagai berikut:
Per Desember 2018, pemilik saham BSM adalah PT Bank Mandiri (Persero) Tbk. sebanyak 99,99% dan sisanya PT Mandiri Sekuritas.
Adapun, per Desember 2018, kemilikan saham BNI Syariah adalah PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. sebanyak 99,94% dan sisanya PT BNI Life Insurance.
DEFINISI MK
Dengan komposisi saham seperti itu, apakah BSM dan BNI Syariah adalah BUMN?
Kebetulan, MK pernah menguji UU BUMN dan mendefinisikan BUMN berdasarkan beleid tersebut.
Salah satunya adalah Putusan MK No. 12/PUU-XVI/2018 yang memuat pertimbangan hukum mengenai dua jenis BUMN:
Bahwa BUMN, sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 1 angka 1 UU BUMN, adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan.
Sementara itu, yang dimaksud dengan kekayaan negara yang dipisahkan adalah kekayaan negara yang berasal dari APBN untuk dijadikan penyertaan modal negara dalam persero dan/atau perum [perusahaan umum] serta perseroan terbatas lainnya (Pasal 1 angka 10 UU BUMN).
BUMN dapat berupa perusahaan umum maupun perusahaan perseroan.
Jika suatu BUMN seluruh modalnya dimiliki oleh negara dan tidak terbagi atas saham serta bertujuan untuk kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan sekaligus mengejar keuntungan berdasarkan prinsip pengelolaan perusahaan maka BUMN tersebut adalah perum (vide Pasal 1 angka 4 UU BUMN).
Adapun, jika suatu BUMN modalnya terbagi dalam saham yang seluruh atau paling sedikit 51% sahamnya dimiliki oleh Negara Republik Indonesia yang tujuan utamanya mengejar keuntungan, maka BUMN tersebut adalah Persero.
Dari argumen hukum tersebut, MK memaknai BUMN yang modalnya terbagi dalam saham (PT) menyandang status persero hanya bila diimiliki sahamnya oleh Negara Republik Indonesia minimal 51%.
Seperti disebutkan sebelumnya, tidak tercantum nama Negara Republik Indonesia sebagai pemegang saham BSM dan BNI Syariah paling sedikit 51%. Yang ada sebagai pemilik saham terbesar di dua perusahaan itu berturut-turut adalah PT Bank Mandiri (Persero) Tbk. dan PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. atau BNI.
Sebaliknya, Bank Mandiri dan BNI sebagai induk perusahaan melekatkan label ‘persero’ yang mengindikasikan sebuah BUMN seperti putusan MK.
Dalam Laporan Tahunan 2018 dua bank tersebut disebutkan kepemilikan saham Bank Mandiri oleh Negara Republik Indonesia sebanyak 60,00%, publik asing 31,09%, dan sisanya publik nasional 8,91%.
Adapun, BNI dalam Laporan Tahunan 2018 meyebutkan Negara Republik Indonesia sebagai pemilik 60,00% saham dan 40,00% sisanya milik publik.
Dengan demikian, Bank Mandiri dan BNI, seperti juga pengetahuan khalayak selama ini, adalah BUMN seperti didefinisikan UU BUMN maupun putusan MK.
Sayangnya, Prabowo-Sandi tidak menjelaskan mengapa anak usaha BUMN itu bisa diklasifikasikan pula sebagai BUMN.
Dalam berkas perbaikan permohonan yang diunggah di situs resmi MK, Selasa (11/6/2019), argumen Prabowo-Sandi hanya menyebutkan BSM dan BNI Syariah sebagai ‘bank BUMN’.
“Profil Calon Wakil Presiden Ma’ruf Amin juga masih tercantum di dalam website resmi bank BUMN yakni Bank Syariah Mandiri dan BNI Syariah sebagai Ketua Dewan Pengawas,” tulis Bambang Widjojanto, kuasa hukum Prabowo-Sandi.
Barangkali, tiadanya penjelasan mengenai definisi BUMN adalah bagian dari strategi kuasa hukum untuk sidang pemeriksaan kelak.
Bukan tidak mungkin, pemohon menghadirkan ahli yang bisa menjelaskan bahwa anak perusahaan BUMN dengan sendirinya adalah BUMN.
Sebaliknya, KPU dan Jokowi-Ma’ruf tentu memiliki bantahan dan ahli yang siap memberikan argumen kontra. Pada akhirnya, MK pun sudah memiliki pegangan sendiri ihwal definisi BUMN dalam putusannya terdahulu.
Mengingat sidang MK terbuka untuk umum, publik pun berkesempatan mendapatkan ‘kuliah gratis’ mengenai apa itu BUMN maupun anak perusahaannya.