Bisnis.com, JAKARTA - Seminggu lagi, tenggat waktu Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk menyelesaikan penghitungan suara Pemilu 2019, khususnya pemilihan presiden. Jelang pengumuman pemenang, kedua kubu pasangan calon 01 maupun 02 seperti tak lelah mengeluarkan klaim kemenangan untuk menarik perhatian masyarakat.
Manuver tak terduga justru datang dari capres nomor urut 02 Prabowo Subianto. Setelah mengaku telah meraih suara sebesar 62 persen, Ketua Umum Partai Gerindra tersebut mengeluarkan ucapan kontroversial saat simpsosium mengungkap fakta kecurangan di Hotel Grand Sahid Jaya, Selasa (14/5/2019). Prabowo tidak akan mengakui hasil penghitungan suara yang oleh KPU.
Dia menuduh telah terjadi kecurangan yang terstruktur dan sistematis selama penyelenggaraan Pemilu, mulai dari masa kampanye hingga rekapitulasi hasil perolehan suara.
Ucapan Prabowo diamini oleh para petinggi dan anggota Badan Pemenangan Nasional (BPN). Layaknya instruksi, Ketua BPN Prabowo-Sandi, Djoko Santoso mengatakan pihaknya bersama parpol Koalisi Adil-Makmur tidak akan mengakui hasil penghitungan suara KPU.
Di depan ribuan pendukung paslon 02,Jenderal Purnawirawan TNI tersebut mengaku BPN telah mengirimkan surat kepada KPU dengan Nomor 087/bpn/ps/v/2019 tertanggal 1 Mei tentang audit terhadap sistem teknologi informatika (TI) KPU RI.
"Kami mendesak dan meminta KPU segera menghentikan sistem perhitungan suara pemilu yang curang, terstruktur, sistematif, dan masif. Saya ulangi, kami BPN Prabowo-Sandi bersama rakyat Indonesia yang sadar demokrasi menolak hasil penghitungan suara KPU," ucapnya di Hotel Grand Sahid Jaya, Selasa (14/5/2019).
Baca Juga
Tokoh pendukung Prabowo lainnya seperti tak mau kehilangan momentum untuk bersikap. Juru Bicara BPN Dahnil Anzar Simanjuntak dan Anggota Dewan Pengarah BPN Fadli Zon mengungkapkan bahwa pihaknya tak sekadar menolak situng KPU, tetapi menegaskan tidak akan melayangkan gugatan sengketa hasil Pilpres 2019 ke Mahkamah Konstitusi (MK) setelah pengumuman hasil penghitungan suara pada 22 Mei mendatang.
Dahnil merasa tidak puas dengan tindakan yang diterima oleh paslon 02 dan para pendukungnya. Dia menilai pemerintah dan penyelenggara pemilu menghalangi dan melakukan kriminalisasi terhadap tokoh-tokoh pendukung Prabowo-Sandi. Menurutnya, hukum yang ada saat ini seperti di rimba. Siapa yang memiliki kekuatan lah yang menentukan tafsir.
Sementara itu, Fadli Zon merasa tak perlu lagi membeberkan bukti-bukti ke MK karena trauma dengan keputusan hakim pada Pemilu 2014 silam. Kala itu, Prabowo berpasangan dengan politisi Partai Amanat Nasional (PAN) Hatta Rajasa. Pasangan tersebut akhirnya kalah dari Joko Widodo-Jusuf Kalla setelah gugatan tidak dimenangkan oleh MK.
Dia mengatakan kemungkinan besar BPN tidak akan menempuh jalan MK karena di 2014 kami sudah mengikuti jalur itu. Bukan itu saja, Wakil Ketua DPR RI tersebut juga menuding bahwa sebagian besar hakim di MK berpolitik. Fadli dan sebagain besar pendukung Prabowo-Hatta sangat kecewa karena merasa sudah membawa banyak barang bukti, tetapi tidak ada satupun yang dipakai.
"Jadi MK itu enggak ada gunanya dalam persoalan memberikan judgement soal Pemilu. Karena pengalaman yang lalu, saya yakin Pak Prabowo dan Pak Sandi tidak akan menempuh jalur MK," ungkapnya.
Sementara itu, Direktur Advokasi Hukum BPN Sufmi Dasco Ahmad mengatakan pihaknya masih melakukan upaya pelaporan ke Bawaslu RI. Upaya ini dilanjutkan lantaran proses penghitungan masih berlangsung hingga 22 Mei.
"Saat ini, masih ada tiga laporan dengan tuntutan agar Bawaslu mendiskualifikasi pasangan 01. BPN hanya menggugat hasil pemilu legislatif ke MK. Sementara itu, untuk Pilpres masih menggunakan jalur lain," imbuhnya.
Jalur Hukum
Juru Bicara Tim Kampanye Nasional (TKN) Joko Widodo-Ma'ruf Amin, Ace Hasan Syadzily angkat bicara terkait pernyataan Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo Subianto-Sandiaga Uno yang menolak mengajukan gugatan Pemilu 2019 ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Hal itu diucapkan oleh Wakil Ketua Partai Gerindra Fadli Zon dan Jubir BPN Dahnil Anzar Simanjuntak. Menurut Ace, langkah BPN tersebut tidak sesuai dengan dasar hukum yang diterapkan di Indonesia.
"Itu artinya Pak Fadli sebagai pimpinan DPR RI sama saja tidak mau mengikuti undang-undang yang dibuatnya sendiri," ujarnya ketika dikonfirmasi, Kamis (16/5/2019).
Politisi Partai Golkar tersebut menuturkan Fadli Zon merupakan salah satu pimpinan DPR RI yang mengesahkan UU No 7/2017 tentang Pemilu. Pasal 474 ayat (1) beleid tersebut menyebutkan dalam hal terjadi perselisihan penetapan perolehan suara hasil Pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD secara nasional, peserta pemilu dapat mengajukan permohonan pembatalan penetapan hasil penghitungan suara oleh KPU kepada Mahkamah Konstitusi (MK).
Karena itu, jika BPN Prabowo-Sandi tidak setuju dengan hasil Pemilu, maka mau tak mau harus ditempuh melalui mekanisme MK. Tidak ada cara lain untuk mengangguhkan hasil penghitungan KPU RI. Seperti diketahui,
Ace juga menyanggah pernyataan Fadli Zon yang mengatakan MK tidak menindaklanjuti temuan kecurangan pada Pilpres 2014. Menurutnya, MK bukan tidak memproses, tetapi memang tim Prabowo-Hatta Rajasa tidak bisa memenuhi bukti-bukti yang diminta oleh Hakim MK.
Dia meminta agar BPN Prabowo-Sandi tidak hanya mengungkapkan fakta kecurangan di hadapan para pendukungnya, tetapi mau mengadu data internal dengan yang dimiliki oleh KPU di hadapan sidang MK.
"Bukti [Pilpres 2014] bukan tidak ditindaklanjuti, tetapi tidak terpenuhi sehingga mereka [hakim MK] menganggap tidak perlu untuk ditindaklanjuti. Ya beda dong, dia klaim telah terjadi kecurangan dimana-mana, di sisi lain buktinya tidak cukup. Kalau misalnya dia tidak menempuh jalur mekanisme MK berarti dia [BPN Prabowo-Sandi] menerima terhadap hasil Pilpres ini. Gitu aja," ucapnya.
Peneliti Departemen Politik dan Perubahan Sosial Lembaga CSIS Arya Fernandes menilai langkah BPN Prabowo-Sandi tak mengakui hasil penghitungan suara KPU dan ogah menggugat ke MK justru membentuk mosi tidak percaya kepada penyelenggara Pemilu.
Seharusnya BPN membawa bukti-bukti kecurangan dan mengujinya di sidang MK. Jika hal itu tidak dilakukan, publik seharusnya bertanya-tanya terkait keabsahan tudingan para politisi Koalisi Adil-Makmur.
"Kalau tidak berani ajukan gugatan ke MK, tuduhan kecurangan menjadi omong kosong dan kurang relevan. Mereka mungkin sadar kalau barang bukti lemah. Pasangan 02 seperti ingin memelihara narasi kecurangan. Itu tidak baik bagi pendidikan politik di Indonesia dan membangun ketidakpercayaan terhadap penyelenggara," katanya.