Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Akademisi : Ada Salah Kaprah Penggunaan Istilah 'Makar' dalam Penegakan Hukum Kita

Istilah 'makar' dinilai perlu dikembalikan ke makna aslinya, demi menghentikan salah kaprah dalam penegakan hukum di Indonesia.
Kiri ke kanan : Peneliti Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP)Arsil, Pengajar STHI Jentera Anugerah Rizki Akbari, dan Ketua Umum YLBHI Asfinawati dalam diskusi Miskonsepsi Makar dalam Penegakkan Hukum, Kantor YLBHI, Rabu (15/5/2019)/Bisnis-Aziz R
Kiri ke kanan : Peneliti Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP)Arsil, Pengajar STHI Jentera Anugerah Rizki Akbari, dan Ketua Umum YLBHI Asfinawati dalam diskusi Miskonsepsi Makar dalam Penegakkan Hukum, Kantor YLBHI, Rabu (15/5/2019)/Bisnis-Aziz R

Bisnis.com, JAKARTA — Istilah 'makar' dinilai perlu dikembalikan ke makna aslinya, demi menghentikan salah kaprah dalam penegakan hukum di Indonesia.

Pengajar Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera Anugerah Rizki Akbari menjelaskan secara rinci bahwa Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang berlaku di Indonesia merupakan terjemahan langsung dari kitab hukum kolonial berbahasa Belanda.

 Menurut Rizki istilah 'makar' diambil dari kata 'aanslag' yang justru berarti 'serangan'. Hal itu terdapat dalam kitab hukum aslinya bernama Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch-Indie.

 Menurut Rizki definisi makar yang  digunakan saat ini bersifat ambigu, apalagi jika dibandingkan dengan kalimat  "makar dari wilayah negara sahabat" pada Pasal 139a KUHP. "Itu kan tidak nyambung," ujarnya dalam diskusi di Kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Rabu (15/5/2019).

"Jadi kalau kita definisikan ulang seperti 'serangan' tadi, kan jadi masuk akal," ungkap Rizki.

Oleh sebab itu, menurut Rizki, sebaiknya istilah makar dalam Rancangan KUHP diubah menjadi 'serangan' seperti pengertian pada kata aanslag, agar lebih jelas dan tidak multitafsir.

Melengkapi pendapat Rizki, Peneliti Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP) Arsil menilai bahwa salah kaprah penggunaan kata makar merupakan akibat kesalahan dalam memaknai kata tersebut.

"Padahal makar itu bukan tindak pidana, tidak ada delik makar. Tetapi makar itu unsur tindak pidana," jelas Arsil.

Istilah makar dalam KUHP berada di beberapa pasal dengan tindak pidana yang berbeda-beda. Oleh karena itu Arsil sepakat apabila kata 'makar' diubah menjadi 'serangan' agar diskursus mengenai makna unsur pidana ini lebih berkembang.

Arsil menambahkan, aturan hukum lebih terperinci terhadap istilah 'serangan' seperti bagaimana bentuk serangan atau persiapan serangan seperti apa yang bisa diancam tindak pidana, bisa dibuat menyusul. Tidak seperti istilah 'makar' yang terlanjur salah kaprah dan seolah  olah tidak bisa dikembangkan lagi.

Salah Kaprah Sejak Lama

Dalam kesempatan yang sama, Ketua Umum YLBHI Asfinawati mengungkap bahwa salah kaprah penggunaan istilah makar dalam konteks hukum telah berlangsung sejak lama.

Pada 2009,  ujar Asfin, beberapa orang ditangkap akibat mengibarkan bendera Republik Maluku Selatan. Lucunya, seorang yang menyiapkan jarum jahit, menyuguhkan minuman dan makanan dalam rapat gerakan tersebut juga dianggap makar. Ia dianggap mendukung makar.

Pada 2017, lanjut Asfin, beberapa pengikut Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar) yang dituduh melakukan penodaan agama, juga dianggap makar  karena menyebut pemimpin gerakan dengan sebutan presiden dan menyebut tempat peribadatan mereka sebagai negeri.

Menurut Asfin, penggunaan istilah 'makar' yang tepat sebagai 'serangan' justru terjadi pada masa Orde Lama, ketika ada orang yang mencoba menembakkan senjata ke Istana Negara dan melemparkan granat pada salah satu acara yang dihadiri Presiden Soekarno.

Asfin khawatir penggunaan istilah makar yang terlalu lentur hingga menjadi pasal karet merupakan cara-cara pemerintah menghidupkan kembali Penpres (Penetapan Presiden) tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi lewat cara lain.

"Penggunaan istilah makar dalam imajinasi-imajinasi tentang sebuah ancaman kepada negara atau kepada pemimpin atau pemerintah seharusnya sudah selesai sejak [aturan tersebut dicabut pada] 1999," ungkap Asfin.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Aziz Rahardyan
Editor : Saeno

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper