Bisnis.com, JAKARTA – Pemilihan Umum 2019 yang digelar serentak pada Rabu (17/4), benar-benar menguras energi seluruh elemen bangsa. Sejak reformasi, belum pernah Indonesia mengalami polarisasi sehebat ini, khususnya dalam kontestasi memilih pasangan calon presiden dan wakil presiden.
Seolah tidak ada pembahasan lebih penting selain Pemilu pada beberapa pekan terakhir. Para pebisnis juga terkena euphoria politik; ingin tahu siapa nanti yang terpilih jadi presiden. Namun, sebagian besar dari kita juga berharap, agar 17 April 2019 segera berlalu, sehingga prioritas hidup bisa bergeser.
Dalam hal berdemokrasi, tentu wacana utama pemilihan umun yang menjadi trending topic sangat bagus. Ini terbukti dari betapa antusiasnya warga yang datang ke tempat pemungutan suara, ingin berpartisipasi dalam memilih para pemimpin negeri.
Seperti dituturkan Wakil Presiden Jusuf Kalla, tensi politik yang memanas membuat masyarakat terbelah. Pola terpecahnya masyarakat ini lumrah menjelang hari pemilihan. Namun, dia meyakini, setelah pemilihan usai maka keadaan di tengah masyarakat akan kembali bersatu.
Jusuf Kalla merujuk pada pengalaman yang ada selama pemilu-pemilu sebelumnya, baik Pemilu waktu zaman Orde Baru, apalagi pemilu waktu zaman Reformasi yang sekarang sudah keempat kalinya. Pada hari H pemilu memang orang berbeda pilihan tapi beberapa hari kemudian orang akan kembali rukun seperti biasa.
Ini yang kemudian dihormati dan dipuji oleh banyak negara. Indonesia menjadi contoh yang baik negara dalam berdemokrasi. Bila merujuk pada pengalaman sejumlah negara, Pemilu justru memicu perpecahan, bahkan kekerasan antar masyarakat sipil.
Indonesia memang sudah menjadi model demokrasi. Namun, kita juga tidak menafikan bahwa Pemilu 2019 begitu menguras energi, menimbulkan kecemasan akan terjadinya perpecahan. Hari-hari pasca-Pemilu semua menunggu dan berharap agar apapun hasilnya bisa diterima semua pihak dan kita kembali bersatu sebagai sebagai sebuah bangsa yang menjunjung Bhineka Tunggal Ika.
Adalah penting untuk memastikan kita kembali bersatu, agar kehidupan kembali normal, dunia usaha berjalan lebih cepat, perekonomian tumbuh, serta kehidupan sosial harmonis. Sungguh kita menantikan para kontestan Pemilu yang menerima apapun hasil pemungutan suara dengan lapang dada.
Sejauh ini, kita telah memiliki pengalaman berdemokrasi lebih dari 20 tahun dan patut bersyukur hajatan politik tersebut tidak sampai merusak sendi-sendi kehidupan berbangsa. Kita juga memiliki masyarakat yang tahan banting, pebisnis yang persisten dalam menjalankan usaha.
Itulah yang menjelaskan mengapa perekonomian kita selalu bertumbuh meskipun bertepatan tahun politik. Pragmatisme politik yang ditujukkan oleh partai politik di Indonesia, suka tidak suka, telah menjadikan perjalanan berdemokrasi berjalan lancar, kendati banyak hal yang harus disempurnakan, seperti menjauhkan para aktor politik dari korupsi.
Kita juga menyaksikan betapa kandidat capres dan cawapres telah menunjukkan jiwa kenegarawanannya dengan tetap menjalin silaturahmi sebagai sahabat. Namun kita juga cemas, apakah para pendukung di akar rumput bisa kembali rekat, apabila jagoan mereka kalah.
Bagaimanapun kita memerlukan keteladan para pemimpin. Yakinlah, bahwa ada kepentingan negara yang jauh lebih besar, yakni persatuan dan kesatuan. Niat baik semua calon presiden dan wakil presiden yang begitu mencintai negeri ini dengan menawarkan program kesejahteraan rakyat, harus diikuti oleh jiwa besar berdemokrasi.
Dunia bisnis tentu saja menunggu, siapa presiden terpilih nanti. Mereka–sebagaimana juga warga negara lainnya—berharap memiliki wakil-wakil rakyat di parlemen yang berkualitas, sehingga fungsi check and balance dengan pihak eksekutif berjalan maksimal.
Terciptanya stabilitas setelah kontestasi Pemilu adalah sebuah keniscayaan, karena dunia bisnis perlu modal optimisme dalam mengembangkan usaha. Bisnis, hanya bisa berjalan, bila pelakunya memiliki ekspektasi positif terhadap bermacam situasi di depannya, baik itu sosial, politik maupun ekonomi.