Bisnis.com, JAKARTA - Komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) angkat bicara terkait munculnya petisi dari 114 penyelidik dan penyidik KPK yang resah dengan buntunya segala penindakan.
Internal di dalam tubuh KPK tengah bergejolak menyusul 5 poin ungkapan keresahan di Kedeputian Penindakan terkait kerap bocornya operasi tangkap tangan (OTT), buntunya pengembangan perkara ke level big fish hingga terhambatnya izin melakukan penggeledahan.
Wakil Ketua KPK Laode M Syarief memahami terkait petisi tersebut dan telah menerima surat itu untuk kemudian akan dilakukan audiensi bersama para 114 penyelidik dan penyidik dalam waktu dekat.
"Ya, itu sebenarnya permasalahan internal biasa. Petisinya sudah saya terima," katanya, Kamis (11/4/2019).
Laode sekali lagi betul-betul memahami keresahan yang disampaikan melalui petisi tersebut. Tindak lanjut dari kegundahan itu akan dilakukan pertemuan bersama para pimpinan lainnya.
"Tetapi saya perlu menyampaikan, untuk memanggil semua terkait petisi itu, apa kendala mereka dengan deputi penindakan," ujarnya.
Laode tak menampik soal kerap bocornya operasi tangkap tangan KPK yang menjadi bagian dari salah satu poin petisi tersebut. Akan tetapi, dia tak menjelaskan secara rinci latar belakang bocornya informasi tersebut.
"[Kebocoran informasi OTT] ada. Tetapi saya tidak boleh katakan [panjang lebar] di sini," kata Laode.
Juru Bicara KPK Febri Diansyah menyampaikan petisi tersebut merupakan masukan dan saran dari penyampai petisi untuk kemudian akan dilakukan pertemuan.
"Di KPK kami mengenal konsep komunikasi yang egaliter sehingga hal-hal seperti ini, dinamika-dinamika seperti ini sangat mungkin bisa terjadi," katanya.
Menurutnya, hal tersebut adalah proses komunikasi antar pegawai yang lumrah terjadi di lembaga antirasuah. Sehingga dia menolak dengan tegas apabila ada pihak-pihak yang sengaja menyeretnya ke suatu hal tertentu.
"Jadi, keluhan atau saran masukan yang disampaikan oleh teman-teman pegawai KPK pada pimpinan itu adalah bagian dari dinamika internal yang akan diselesaikan secara internal sesuai dengan mekanisme yang ada," paparnya.
Petisi berjudul "Hentikan Segala Bentuk Upaya Menghambat Penanganan Kasus" muncul dipermukaan yang dituju kepada pimpinan KPK. Pada intinya, isi petisi itu menunjukan sebuah hambatan-hambatan dalam penanganan kasus korupsi.
Dalam isi petisi itu disampaikan bahwa kurang lebih satu tahun kebelakang ini, jajaran di Kedeputian Penindakan KPK mengalami kebuntuan untuk mengurai dan mengembangkan perkara.
Perkara itu sampai dengan ke level pejabat yang lebih tinggi (big fish), level kejahatan korporasi, maupun ke level tindak pidana pencucian uang (TPPU). Kondisi ini, tulis petisi itu, disebabkan beberapa hal.
Berikut isi lengkap 5 poin petisi tersebut:
1. Terhambatnya Penanganan Perkara Pada Eksepose Tingkat Kedeputian
Penundaan pelaksanaan ekspose penanganan perkara dengan alasan yang tidak jelas dan cenderung mengulur-ngulur waktu hingga berbulan-bulan sampai dengan perkara pokoknya selesai. Hal tersebut berpotensi menutup kesempatan untuk melakukan pengembangan perkara pada tahapan level pejabat yang lebih tinggi serta hanya terlokalisir pada level tersangka/jabatan tertentu saja.
2. Tingginya tingkat kebocoran dalam pelaksanaan penyelidikan tertutup
Beberapa bulan belakangan hampir seluruh Satgas di Penyelidikan pernah mengalami kegagalan dalam beberapa kali pelaksanaan operasi tangkap tangan yang sedang ditangani karena dugaan adanya kebocoran Operasi Tangkap Tangan (OTT).
Kebocoran ini tidak hanya berefek pada munculnya ketidakpercayaan (distrust) diantara sesama pegawai maupun antara pegawai dengan struktural dan/atau Pimpinan, namun hal ini juga dapat mengakibatkan tingginya potensi risiko keselamatan yang dihadapi oleh personil yang sedang bertugas di lapangan.
3. Tidak disetujuinya pemanggilan dan perlakuan khusus terhadap saksi
Pengajuan saksi-saksi pada level jabatan tertentu, ataupun golongan tertentu menjadi sangat sulit. Hal ini mengakibatkan hambatan karena tidak dapat bekerja secara optimal dalam mengumpulkan alat bukti. Selain itu, terdapat perlakukan khusus terdapat saksi.
Sebagai contoh, beberapa waktu yang lalu terdapat perlakuan istimewa kepada saksi yang bisa masuk ke dalam ruang pemeriksaan melalui pintu Basement, melalui lift pegawai, dan melalui akses pintu masuk pegawai di lantai 2 Gedung KPK tanpa melewati Lobby Tamu di Lantai 1 dan pendaftaran saksi sebagaimana prosedur yang seharusnya.
4. Tidak disetujui penggeledahan pada lokasi tertentu dan pencekalan
Tanpa alasan objektif, seringkali pengajuan lokasi penggeledahan pada kasus-kasus tertentu tidak di ijinkan. Penyidik dan Penyelidik merasakan kesempatan untuk mencari dan mengumpulkan alat bukti semakin sempit, bahkan hampir tidak ada.
Selain itu, pencekelasan terhadap orang yang dirasakan perlu dilakukan pencekalan tidak disetujui tanpa argumentasi yang jelas. Hal ini dapat menimbulkan berbagai prasangka.
5. Adanya pembiaran atas dugaan pelanggaran berat
Beberapa pelanggaran berat yang dilakukan oleh oknum di penindakan tidak ditindaklanjuti secara gamblang dan transparan penanganannya oleh pihak Pengawas Internal. Hal ini seringkali menimbulkan pertanyaan di kalangan pegawai, apakah saat ini KPK sudah menerapkan tebang pilih dalam menegakkan kode etik bagi pegawainya.
Di satu sisi, kode etik menjadi sangat perkasa sekali, sedangkan di sisi lain, bisa menjadi sangat senyap dan berjalan lamban, bahkan kerapkali perkembangan maupun penerapan sanksinya pelan-pelan hilang seiring dengan waktu.