Bisnis.com, JAKARTA – Kampanye Akbar pasangan calon presiden 02 Prabowo Subianto di Gelora Bung Karno (GBK) pada Minggu (7/4) mendapat kritik dari sejumlah pihak. Selain Ketua Umum Partai Demokrat yang menyampaikan surat keberatan, pengamat politik juga menggarisbawahi penggunaan simbo-simbol agama.
Salah satunya, peristiwa salat subuh berjamaah yang bercampur aduk antara laki-laki dan perempuan dan penggunaan politik identitas yang mencolok.
Direktur Ekskutif Indonesian Public Institute, Karyono Wibowo menilai, potret salat subuh berjamaah yang dilakukan sebelum kampanye akbar itu mengafirmasi dugaan bahwa kegiatan agama dan simbol-simbol yang melekat digunakan untuk kepentingan politik praktis dan kekuasaan.
Apalagi, lanjut Karyono, dalam salat subuh berjamaah itu antara laki-laki dan perempuan bercampur, padahal kelompok mereka sering menyuarakan untuk mengangkat kesucian Islam.
“Sangat kelihatan digunakan untuk kepentingan politik dengan cara membangkitkan giroh agama. Artinya sahwat politik mereka lebih menonjol, akhirnya mereka tak memperdulikan salat campur aduk begitu, yang terjadi blunder sendiri,” kritik Karyono, dalam keterangan tertulis, Senin (8/4/2019).
Ia lalu mengingatkan, agar masyarakat sadar dan tidak terpancing oleh kelompok atau petinggi partai yang seringkali menggunakan simbol agama, mengutip Quran dan hadis, tetapi sejatinya ada kepentingan ekonomi-politik.
Baca Juga
“Jadi, dengan kejadian kemarin di GBK, jangan terjebak sentimen agama, yang selalu diusung oleh kelompok tertentu,” katanya.
Menurutnya, kampanye akbar di GBK itu seharusnya menjadi pembelajaran agar tidak memperalat agama untuk kepentingan kekuasaan semata. Sebelumnya juga ditunjukkan dengan acara Reuni 212 yang diklaim tak punya tujuan poolitik praktis dalam pemilu, namun faktanya sejumlah petinggi partai justru hadir dan memberikan dukungan kepada Prabowo.
“Apakah murni menegakkan Islam atau syahwat kekuasaan? Salat jamaah subuh kenapa harus diimbau, tanpa harus diimbau seharusnya sadar karena itu kewajiban. Ini semata karena ada momentum pilpres, ada kelompok ada yang mengkoordinir,” tegasnya.
Ditambahkannya, rendahnya literasi keagamaan menjadi salah satu faktor yang membuat masyarakat mudah diajak untuk kepentingan politik praktis. Artinya, tidak bisa membedakan mana ajaran Islam, mana politik Islam, dan mana Islam politik.
“Oleh karena itu, alim ulama, ustad, intelektual harus memberikan pemahaman yang benar, mengajarkan ajaran Islam yang rahmatan lilalamin. Mereka harus turun gunung, agar masyarakat mengetahui. Itu penting, sehingga tidak menjadi korban bagi kelompok yang sekadar menggunakan agama menjadi simbol, demi kepetingan kekuasaan politik,” tandas Karyono .
KELOMPOK NASIONALIS-RELIGIUS
Sementara itu, Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon mengatakan bahwa peserta yang hadir lebih didominasi oleh kelompok nasionalis dan religius bukan kelompok yang berencana mendirikan negara khilafah di Indonesia.
Hal itu disampaikan menanggapi surat SBY yang tidak sreg dengan model Kampanye Akbar Prabowo-Sandi di Gelora Bung Karno. Fadli mengatakan bahwa tudingan SBY mengenai adanya peserta eksklusif pada kampanye akbar itu tidak benar.
“Ini menurut saya upaya untuk menciptakan kontradiksi Pancasila dengan Islam, khilafah dan sebagainya. Itu bagian dari politik pecah belah. Politik adu domba, dan sayang sekali, itu dilakukan penguasa petahana sekarang. Mereka tidak mengerti konsep NKRI. Mereka yang merupakan tokoh-tokoh pemecah belah,” tutur Fadli.
Menurutnya, tidak hanya tokoh agama Islam saja yang hadir pada Kampanye Akbar Prabowo-Sandi, melainkan juga seluruh perwakilan agama resmi di Indonesia. Para tokoh lintas agama tersebut memberikan sambutan dan diberi ruang yang sama pada acara Kampanye Akbar Prabowo-Sandi di GBK.