Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Ahok dan Aksi 212 yang Tak Mendongkrak Elektabilitas Jokowi Maupun Prabowo

Kendati dalam perjalanan menentukan calon wakil presiden (cawapres), calon presiden Joko Widodo dan Prabowo Subianto sangat kuat upayanya merebut suara pemilih muslim.
Aksi doa bersama 12 Desember./.Reuters
Aksi doa bersama 12 Desember./.Reuters

Kabar24.com, JAKARTA — Aksi 2 Desember 2016 atau yang dikenal dengan Aksi 212 boleh jadi merupakan gerakan publik terbesar dalam kurun 15 tahun terakhir. Aksi itu didorong penistaan agama yang dialamatkan kepada Gubernur DKI Jakarta saat itu, Basuki Tjahaja Purnama.

Bermula dari beredarnya potongan video Ahok—panggilan Basuki Tjahaja Purnama— saat berpidato di Kepulauan Seribu terkait dengan surat Al Maidah 51dalam konteks mencari pemimpin.

Kebetulan pula, Ahok saat itu berstatus sebagai calon gubernur DKI Jakarta yang maju di Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI Jakarta 2017.

Ahok yang berlatar belakang seorang Nasrani memang tidak dalam tempatnya berbicara di depan forum yang sensitif menyinggung ayat suci kepercayaan agama lain, begitu kira-kira pandangan yang muncul. Ditambah situasi perpolitikan dalam perebutan kursi gubernur di DKI, membuat gerakan 212 banjir sorotan.

Belum lagi cap terhadap Ahok yang dikenal dengan Presiden Joko Widodo karena keduanya pernah maju sebagai calon gubernur dan calon wakil gubernur DKI Jakarta pada 2012.

Ketika Ahok kalah di Pilkada DKI Jakarta, banyak yang beranggapan hal itu mempengaruhi elektabilitas Jokowi. Ada yang menilai Aksi 212 memiliki peran besar dalam mengubah peta politik nasional.

Kajian Center for Startegic and International Studies (CSIS) berjudul Politik Identitas dalam Pemilu 2019: Proyeksi dan Efektivitas, menunjukan fakta pengaruh Pilkada DKI Jakarta dan Aksi 212 lebih terasa di kalangan elite politik dibandingkan dengan pemilih.

Hasil kajian peneliti di Departemen Politik dan Sosial Politik CSIS Arya Fernandes menyebut bahwa pengaruh gerakan massa 212 dalam mempengaruhi perilaku pemilih cukup lemah dan menunjukkan bahwa mobilisasi pemilih berdasarkan isu-isu keagamaan tidak efektif dalam pemilu di tingkat nasional.

Kendati dalam perjalanan menentukan calon wakil presiden (cawapres), calon presiden Joko Widodo dan Prabowo Subianto sangat kuat upayanya merebut suara pemilih muslim.

Jokowi misalnya, mengesampingkan sosok mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD dan memilih Rais Am PB Nahlatul Ulama (NU) Ma’ruf Amin sebagai pendamping.

Sementara itu, Prabowo yang beberapa kali datang di ijtima’ ulama Gerakan Nasional Penjaga Fatwa (GNPF) MUI, terlihat menunjukkan adanya kebutuhan untuk mengakomodasi kepentingan elite politik muslim dalam penentuan cawapres.

Hanya saja, dari catatan CSIS, daya dongkrak elektroal mobilisasi pemilih dalam Aksi 212 sejauh ini belum signifikan mempengaruhi suara pemilu menjelang pemilu serentak nasional pada 17 April 2019.

Lemahnya efek massa Aksi 212 terhadap politik nasional tampak pada beberapa indikator. Pertama, tidak adanya efek langsung Aksi 212 terhadap kenaikan atau penurunan suara pasangan calon.

Dari hasi riset CSIS, tren perolehan suara Jokowi tidak mengalami penurunan setelah digelarnya Aksi 212. Bisa dilihat dari tren elektabilitas sejak 2015, 2016, dan 2017. Begitu juga suara Prabowo Subianto juga tidak mengalami kenaikan signifikan.

Ahok dan Aksi 212 yang Tak Mendongkrak Elektabilitas Jokowi Maupun Prabowo

Jika politik identitas bekerja efektif, mestinya hal itu memukul elektabiltas Jokowi yang acapakali mendapat serangan negatif mengenai politik identitas. Namun, suara Jokowi justru mengalami kenaikan. Sejak Aksi 212, belum sekali pun elektabilitas Jokowi bisa diungguli Prabowo dalam sejumlah jajak pendapat.

Begitu juga sebaliknya dengan Prabowo Subianto yang dekat dengan kelompok organisasi Islam, juga tidak mendapatkan peningkatan suara secara signifikan, bahkan justru mengalami stagnasi.

Kedua, dari sisi distribusi suara pendukung dan massa Aksi 212 relatif terdistribusi kepada kedua pasangan calon, baik Jokowi maupun Prabowo.

Jokowi mendapatkan dukungan massa Aksi 212 yang lebih tinggi dibandingkan dengan Prabowo di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Prabowo mendapatkan suara yang lebih tinggi dari pendukung 212 di Sumatra Utara dan Jawa Barat.

Sementara di Provinsi Sulawesi Selatan relatif imbang. Jika ditarik ke data sejumlah lemnbaga survei, Jateng dan Jatim menjadi basis pemilih Jokowi, sedangkan Sumatra dan Jabar dikuasi Prabowo.

Kemudian jika ditarik dari sisi keikutsertakaan dalam Aksi 212, preferensi politik pendukung massa Aksi 212 masih lebih tinggi ke Prabowo dibandingkan Jokowi. Sebesar 48,5% pendukung massa Aksi 212 mengaku mendukung Prabowo dan 41,4% mengaku mendukung Jokowi.

Sementara dari sisi karakteristik pendukung, pemilih Jokowi terbelah dua. Data agregat di lima provinsi menunjukkan 48,6 pemilih Jokowi mengaku mendukung aksi 212 dan 51,3% mengaku tidak mendukung aksi 212. Sementara itu pendukung Prabowo lebih banyak yang mendukung Aksi 212. Dan 76,1% pemilih Prabowo mengaku mendukung Aksi 212 dan 23,9% tidak mendukung.

Ahok dan Aksi 212 yang Tak Mendongkrak Elektabilitas Jokowi Maupun Prabowo

CSIS juga menyoroti partai-partai yang diasosikan dekat dengan gerakan 212 tidak mendapatkan insentif politik yang besar pasca-Pilkada DKI Jakarta.

Hal tersebut tampak dari distribusi pendukung massa 212 yang tersebar ke partai-partai dengan ideologi yang berbeda, baik partai berbasis agama atau nasionalis. Begitu juga partai politik yang mendukung pencalonan Ahok atau mendukung calon lain, sama-sama mendapatkan suara dari massa pendukung 212.

Mengapa politik identitas tidak efektif? Pertama, keserentakan waktu pemilihan antara pemilu legislatif dengan pemilu presiden. Desain pemilu serentak membuat politik identitas tidak dapat bekerja dengan baik, karena isu di pemilu legislatif dan pemilu presiden terbelah.

Partai politik yang tidak mempunyai asosiasi langsung dengan calon presiden akan membuat isu yang berbeda dengan capres. Di tingkat lokal, pemilihan isu yang dilakukan caleg diperkirakan juga akan beragam. Caleg biasanya juga akan menyesuaikan dengan konteks sosial politik di tingkat lokal.

Dalam pemilu legislatif, politik identitas diperkirakan tidak terlalu banyak digunakan calon karena beberapa hal, diantaranya komposisi pemilih dan calon anggota legislatif yang beragam dari internal partai politik. Sehingga para caleg akan berhati-hati dalam menggunakan isu-isu dalam kampanye.

Selain itu tingkat kontestasi dalam pemilu nanti juga berat, baik di internal dan eksternal. Beberapa perubahan yang terjadi pada 2019 itu diantaranya, terjadinya kenaikan angka parliamentary threshold dari 3,5% jadi 4%, penambahan jumlah partai menjadi 16 partai peserta pemilu, dan perubahan mekanisme konversi suara dari qouta hare menjadi saint league.

Perubahan-perubahan tersebut membuat caleg akan berusaha membuat strategi kampanye akan menerapkan strategi catch all (menyasar semua lapisan pemilih).

Kedua, tidak efektifnya penggunaan politik identitas terlihat dari bergesernya isu kedua pasangan menjadi isu-isu ekonomi dan pembangunan dalam kampanye. Bila ini terus konsisten hingga menjelang waktu pemilihan, diharapkan akan mengurangi munculnya potensi penggunaan isu-isu berbasis identitas.

Saat ini, berdasarkan temuan survei CSIS, sejak 3 tahun terakhir, isu ekonomi seperti harga sembako, kemiskinan, dan lapangan pekerjaan, menjadi perhatian utama dan masalah yang dihadapi masyarakat di tingkat bawah.

Ahok dan Aksi 212 yang Tak Mendongkrak Elektabilitas Jokowi Maupun Prabowo

Ahok dan Aksi 212 yang Tak Mendongkrak Elektabilitas Jokowi Maupun Prabowo

Ketiga, dalam pemilu legislatif, perubahan pilihan terjadi berdasarkan preferensi ideologis pemilih. Bila pemilih pada pemilu sebelumnya memilih partai berbasis agama, bila dia mengubah pilihannya dalam pemilu berikutnya, kecenderungannya akan kembali memilih partai berbasis agama. Begitu juga dengan preferensi pemilih partai berbasis nasionalis.

Artinya, penggunaan isu-isu agama hanya efektif bagi pemilih partai-partai berbasis agama. Sementara proporsi dukungan kepada partai agama lebih rendah dibandingkan partai berbasis nasional.

Survei CSIS pada 2017 menunjukkan sebesar 91,4% pemilih mengaku akan memilih partai nasionalis pada pemilu 2014 tahun sebelumnya tetap memilih partai nasionalis pada saat survei dilakukan Agustus 2017. Hanya sekitar 2,3% yang berpindah kepada partai agama.

Sementara itu, tingkat loyalitas di kalangan pemilih partai berbasis agama tidak sekuat pemilih partai nasionalitas. Pemilih partai berbasis agama lebih rentan mengalami perpindahan.

Keempat, dari sisi pemilih, di tingkat nasional terjadi konsistensi pilihan berdasarkan aspek-aspek kualitas personal dibandingkan pilihan berdarkan faktor-faktor primordial seperti agama dan suku.

Dari sisi karakteristik, pemimpin yang dianggap jujur dan anti-korupsi, sederhana dan mampu membawa perubahan dianggap lebih penting dibandingkan pemimpin yang taat beragama.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper