Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Mengapa Pileg Kalah Sorot Dibanding Pilpres?

Menjelang Pemilu 2019, perhatian masyarakat dinilai hanya tertuju pada ingar bingar Pilpres. Sementara itu, Pileg tampak cenderung dikesampingkan oleh para pemilih.
Warga melintas di depan baliho berisi sosialisasi tentang warna surat suara yang terpasang di kawasan Cipondoh, Tangerang, Banten, Senin (18/2/2019)./ANTARA-Muhammad Iqbal
Warga melintas di depan baliho berisi sosialisasi tentang warna surat suara yang terpasang di kawasan Cipondoh, Tangerang, Banten, Senin (18/2/2019)./ANTARA-Muhammad Iqbal

Bisnis.com, JAKARTA -- Sorotan publik terhadap Pemilu 2019 makin besar jelang tibanya masa pemungutan suara pada 17 April 2019. Sayangnya, perhatian masyarakat terhadap Pemilihan Legislatif cenderung tak sebesar yang diberikan kepada Pemilihan Presiden.

Padahal, mulai tahun ini, Pemilihan Presiden (Pilpres) dan Pemilihan Legislatif (Pileg) akan diselenggarakan dalam waktu yang sama. Artinya, pemilih pada 17 April nanti berkesempatan memilih tidak hanya calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres), tapi juga calon anggota DPD, DPR di tingkat Kabupaten/Kota, DPR Provinsi, hingga DPR pusat.

Pemilihan presiden dan anggota legislatif serentak merupakan hal baru bagi Indonesia. Sebelumnya, kedua ajang pemilihan itu dilakukan pada waktu berbeda.

Pada 2014 misalnya, Pileg dilaksanakan pada 9 April 2014, sedangkan Pilpres baru terlaksana 3 bulan setelahnya yakni pada 9 Juli 2014.

Pelaksanaan Pemilu serentak sejalan dengan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membatalkan Pasal 3 ayat (5), Pasal 12 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 14 ayat (2) dan Pasal 112 UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden pada 23 Januari 2014.

Mengapa Pileg Kalah Sorot Dibanding Pilpres?

Pasangan calon Presiden Joko Widodo-Ma’ruf Amin (kanan) dan pasangan capres Prabowo Subianto-Sandiaga Uno memperlihatkan hasil pengambilan undian nomor urut untuk Pilpres 2019, di kantor Komisi Pemilihan Umum, Jakarta, Jumat (21/9/2018)./JIBI-Dwi Prasetya

MK menilai pelaksanaan Pemilu terpisah bertentangan dengan tujuan penguatan sistem presidensial dalam UUD 1945 dan mengurangi peran mutlak rakyat dalam memilih presiden secara langsung.

MK menilai kewajiban pelaksanaan Pemilu sekali dalam 5 tahun yang diatur dalam Pasal 6 ayat (2) UUD 1945 merujuk pada pelaksanaan pemilihan anggota DPR, DPRD, DPD, Presiden, dan Wakil Presiden.

Awalnya, perhatian terhadap peserta Pileg dan Pilpres 2019 diprediksi akan sama riuhnya. Namun, hingga menjelang berakhirnya masa kampanye, masyarakat terlihat hanya fokus mengikuti perkembangan Pilpres 2019.

Perhatian yang berat sebelah ini diakui peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Mahardika. Menurutnya, ada alasan masuk akal yang menyebabkan masyarakat cenderung memperhatikan Pilpres dan cenderung "mengenyampingkan" Pileg 2019.

“Ya memang karena mungkin [Pilpres] lebih sederhana. Pilpres kan hanya dua calon, kemudian juga presiden lebih terlihat perannya dibanding legislatif. Terus, legislatif juga kita ada tiga [jenjang yang dipilih] yakni DPR RI, kabupaten/kota, dan provinsi. Terus, calonnya banyak, jadi mungkin orang enggak banyak cari info yang sangat kompleks itu,” tutur Mahardika di Jakarta, Rabu (27/3/2019).

Berdasarkan data yang dihimpun Bisnis, jumlah caleg DPR RI pada Pemilu 2019 mencapai 8.037 orang. Jumlah itu berasal dari 16 partai politik (parpol) kontestan Pemilu 2019.

Kemudian, berdasarkan informasi yang ditayangkan lama pintarmemilih.id, setidaknya ada 28.604 calon anggota legislatif (caleg) tingkat DPRD Provinsi yang ikut Pemilu 2019. Belum ada data mengenai jumlah caleg untuk pemilihan tingkat DPRD Kabupaten/Kota.

Mengapa Pileg Kalah Sorot Dibanding Pilpres?

Pengendara melintas di samping Alat Peraga Kampanye (APK) di kawasan Pomad, Bogor, Jawa Barat, Selasa (26/3/2019)./ANTARA-Yulius Satria Wijaya

Jumlah caleg yang banyak itu bisa dirasakan di kehidupan sehari-hari. Banyaknya atribut kampanye yang terpasang di lingkungan sekitar menjadi salah satu indikatornya.

Tetapi, atribut caleg yang marak belum tentu diikuti dengan tertariknya perhatian masyarakat pada Pileg 2019.

Mahardika memandang format Pemilu 2019 yang dilakukan bersamaan dari tingkat kabupaten/kota hingga pusat membuat tujuan pemilihan serentak tak tercapai.

Dia menerangkan awalnya, Pemilu serentak didesain agar eksekutif (presiden, kepala daerah, bupati/wali kota) terpilih memiliki kesinambungan dukungan di parlemen. Kesinambungan itu diharap muncul karena adanya coattail effect (efek ekor jas).

Coattail effect adalah efek dari kecenderungan di mana pemimpin parpol yang populer mencoba menarik suara bagi kandidat lain dari parpol yang sama dalam suatu Pemilu. Dengan mencalonkan seseorang yang populer, parpol mendapat banyak limpahan suara dari calon tersebut karena orang-orang sudah terpesona dengan sosok si calon.

Lebih lanjut, untuk menciptakan kesinambungan tadi, Mahardika menyebut awalnya desain Pemilu serentak dibagi menjadi dua putaran. Pertama, pemilu serentak pada tingkat nasional. Kedua, pemilihan di tingkat daerah.

“Tapi karena Pemilu-nya borongan jadi efek itu enggak tercapai. Orang lebih fokus ke Pilpres sedangkan Pileg enggak,” ujarnya.

Mengapa Pileg Kalah Sorot Dibanding Pilpres?

Sejumlah pelajar mengikuti sosialisasi tentang Pemilu di SMK Negeri 2 Dharma Caraka Teluk Dalam, Kabupaten Nias Selatan, Sumatera Utara, Sabtu (9/3/2019)./ANTARA-Septianda Perdana

Partai Kehilangan Fokus
Pendapat lain dikemukakan Direktur Eksekutif Indonesia Political Review Ujang Komarudin, yang menyebut fenomena kalahnya pamor Pileg dibanding Pilpres kali ini turut disumbang oleh strategi parpol.

Dia menilai banyak parpol yang akhirnya hanya fokus mengejar kemenangan bagi kandidatnya di Pilpres. Perdebatan yang mengemuka ke publik pun pada akhirnya hanya seputar keunggulan dan kelemahan masing-masing kandidat peserta Pilpres.

“Mereka kehilangan fokus, banyak energi untuk memenangkan jagonya di Pilpres. Partai-partai juga hanya ikut irama Pilpres, tidak mampu membangun dan membentuk irama sendiri untuk menyemarakkan kampanye Pileg. Sudah kelelahan dan tak berdaya, tak ada usaha juga untuk menjadikan Pileg lebih bergengsi dari Pilpres,” papar Ujang kepada Bisnis, Kamis (28/3).

Hal menarik yang gagal dibuat caleg untuk menarik perhatian pemilih semakin membuat masyarakat hanya fokus mengikuti perkembangan Pilpres. Selain itu, dia menduga masyarakat malas mencari tahu tentang Pilega lantaran terlalu banyak kandidat yang bertarung dan minimnya calon yang mereka kenal.

Padahal, Pileg dan Pilpres memiliki bobot kepentingan yang sama-sama besar. Ujang menuturkan hasil Pemilu serentak 2019 bisa mempengaruhi kinerja eksekutif dan legislatif selama 5 tahun ke depan.

“Dampak negatifnya, karena masyarakat tidak tahu dan tidak mengenal para calegnya, maka nanti yang terpilih bukanlah orang terbaik. Bisa seperti memilih kucing dalam karung. Karena bagaimana mau melihat program-program kerja dan janji kampanye caleg jika mereka tidak dikenal,” jelasnya.

Mengapa Pileg Kalah Sorot Dibanding Pilpres?

Warga melintas di depan mural tentang Pemilu 2019 di Pasar baru Mamuju, Sulawesi Barat, Rabu (6/03/2019)./ANTARA-Akbar Tado

Selain memunculkan potensi rendahnya kualitas wakil rakyat terpilih, Pemilu serentak 2019 juga bisa membuat angka golput tinggi jika perhatian masyarakat hanya terfokus pada Pilpres dan tidak pada Pileg.

Tingkat golput dalam Pemilu tahun ini diperkirakan tak jauh berbeda dengan sebelumnya, yakni sekitar 30%. Adapun jumlah pemilih dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) sebanyak 192,83 juta jiwa.

Potensi meningkatnya jumlah golput dimungkinkan karena masyarakat bisa jadi merasa malas memilih banyak kandidat untuk lembaga legislatif di tiap tingkatan. Jika golput meningkat, maka Ujang memprediksi komposisi lembaga legislatif hasil Pemilu 2019 akan kembali diwarnai muka-muka lama.

Alasannya, caleg-caleg lama dipercaya memiliki investasi politik dan dukungan yang sudah pasti dan mengakar di masyarakat. Hal itu bisa membuat mereka otomatis mendapat dukungan lebih tinggi dibanding kompetitornya saat Pemilu.

“Golput bisa meningkat dan bisa jadi yang terpilih banyak dari wajah lama karena mereka incumbent. Paling tidak sudah memiliki investasi politik di masyarakat. Paling sedikit ditambah wajah baru,” tukasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Lalu Rahadian
Editor : Annisa Margrit
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper