Bisnis.com, JAKARTA — Hingga kini, minimnya regulasi yang bisa membuat jera pelaku politik uang atau money politics masih menjadi pekerjaan rumah yang besar bagi pelaksanaan demokrasi di Indonesia.
Anggota Bawaslu Fritz Edward Siregar dalam sebuah diskusi di bilangan Cikini, Jakarta Pusat, Rabu (27/3/2019), mengungkapkan adanya dua hambatan utama proses penindakan politik uang.
Pertama, minimnya kesadaran masyarakat untuk melapor, bahkan cenderung permisif atau justru menghendaki adanya politik uang. Kedua, masih ada beda tafsir antara Bawaslu, Kepolisian, dan Kejaksaan di Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu).
"Ada persoalan perbedaan penafsiran kata "sengaja". Ada beberapa yang pelakunya sudah kita punya bukti foto, video, tapi pada saat kita bawa ke sentra Gakkumdu, ternyata dibilang tidak ada unsur kesengajaannya. Jadi tidak dapat dilanjutkan atau diproses di pengadilan berikutnya," jelas Fritz.
Jangan berharap ke parpol. Tak akan pernah ada parpol yang mengingatkan atau melarang kadernya untuk tidak melakukan money politics. Yang ada, parpol mendorong caleg-calegnya untuk bisa menang. Apapun bisa dilakukan. Termasuk dengan cara melakulan money politics.
Hal inilah yang membuat para pelaku politik uang cenderung meremehkan dengan menganggap kemungkinan "lolos" dari sanksi masih terbuka lebar.
"Jadi kalau menurut kami, yang perlu ditingkatkan yaitu keberanian masyarakat untuk menjadi pelapor, dan juga kesiapan caleg atas konsekuensi yang muncul untuk dirinya," tambah Fritz.
Melihat permasalahan tersebut, peneliti dari Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Fadli Ramadhanil berpendapat bahwa sanksi pidana terlalu membutuhkan proses lama untuk menjerat pelaku politik uang.
"Kenapa tidak kemudian sanksi pelaku politik uang itu cukup kita desain sanksi administratif saja. Tapi jelas sanksi terberat itu diskualifikasi. Peserta Pemilu itu kan paling takut tidak bisa ikut Pemilu, bukan takut dipenjara atau bayar denda," jelas Fadli.
Menurutnya, hal ini justru efektif membuat para pelaku politik uang jera. Sebab, prosesnya cepat dan tidak bertele-tele. Apalagi, bila nantinya ada lembaga independen tersendiri yang mampu memutus sanksi administratif bagi para pelanggar dengan cepat.
"Menurut saya ke depan memang harus dipisah, mana lembaga yang kewenangannya memutus dan menyelesaikan sengketa pemilu, mana yang melakukan pengawasan," ujarnya kepada Bisnis.
Sedikit berbeda dari Fadli, Pengamat Politik Universitas Al-Azhar Indonesia sekaligus Direktur Eksekutif Indonesia Political Review (IPR) Ujang Komarudin justru berpendapat pidana bagi pelaku politik uang harus lebih berat.
"Money politics ini kan pidana. Bisa dikategorikan menyuap. Membeli suara. Jadi harus ada sanksi pidana juga," ujar Ujang kepada Bisnis.
"Jadi harusnya lebih keras lagi. Lebih maksimal hukumannya. Agar ada efek jera. Selama ini kan banyak yang melakukan money politics tapi hukumannya ringan. Caleg tidak takut. Makanya tumbuh subur money politics," tambahnya.
Menurut Ujang, sebenarnya partai politik (parpol) merupakan titik utama yang bisa meredam politik uang. Sayangnya, mustahil berharap pada parpol agar "menekan" kadernya atau berharap adanya regulasi yang bisa memberikan sanksi di tingkat parpol.
"Tumbuh suburnya money politics kan ditopang karena partainya diam. Karena partai mendiamkan, tidak memberi sanksi, dan tak akan ada sanksi di tingkat partai," ungkap Ujang.
"Jangan berharap ke parpol. Tak akan pernah ada parpol yang mengingatkan atau melarang kadernya untuk tidak melakukan money politics. Yang ada, parpol mendorong caleg-calegnya untuk bisa menang. Apapun bisa dilakukan. Termasuk dengan cara melakulan money politics," jelasnya.