Bisnis.com, JAKARTA - Keluarga terkaya nomor dua di Jerman tak hanya membangun bisnis senilai miliaran dolar dari Krispy Kreme Doughnuts, sepatu Jimmy Choo atau parfum Calvin Klein. Mereka juga mendapatkannya dari peluh orang-orang yang dipaksa bekerja saat rezim Nazi pimpinan Adolf Hitler berkuasa.
Fakta ini jelas membuat keluarga Reimann, salah satu pendiri konglomerat barang konsumsi JAB Holding Company, kaget luar biasa. Hal itu pun baru terbongkar 74 tahun setelah Perang Dunia II berakhir melalui serangkaian investigasi.
Generasi termuda keluarga itu memutuskan untuk menugaskan seorang sejarawan menelusuri arsip perusahaan dan mencari tahu kegiatan pendahulu mereka selama 12 tahun kekuasaan Nazi.
Albert Reimann Senior dan putranya Albert Reimann Junior, yang menjalankan bisnis perusahaan pada 1930-an dan 1940-an, ternyata merupakan pendukung Hitler dan memiliki pandangan anti-Semit yang kuat.
Ayah dan anak itu diketahui permisif terhadap praktik kerja paksa, tak hanya di perusahaan bahan kimia industri yang mereka operasikan, namun juga di rumah mereka sendiri.
Melansir The New York Times, para pekerja perempuan dari Eropa Timur dipaksa berdiri telanjang di barak pabrik milik keluarga Reimann. Mereka yang menolak melakukan hal itu disebut bakal mengalami pelecehan seksual.
Selain diperlakukan tak hormat, para pekerja itu pun mendapat perlakuan kasar. Mereka ditendang dan dipukuli, salah satunya adalah perempuan Rusia yang bertugas membersihkan vila pribadi keluarga Reimann.
Kabar tentang sejarah kelam keluarga ini pertama kali terkuak pada Minggu (24/3/2019). Dalam sebuah wawancara dengan tabloid Bild, salah satu petinggi JAB Holding Company, Peter Harf mengakui bahwa Albert Reimann Sr. yang meninggal pada 1954 dan Reimann Jr. yang meninggal pada 1984 menggunakan tahanan perang sebagai pekerja paksa di pabrik mereka. Keduanya juga diketahui mendukung Adolf Hitler.
"Reimann Sr. dan Reimann Jr. bersalah. Mereka telah meninggal, namun tempat mereka seharusnya adalah di penjara," ungkap Harf.
"Kami merasa malu. Hal ini tak bisa diabaikan. Kejahatan ini menjijikkan," ungkap seorang juru bicara keluarga sebagaimana dikutip CNN Business.
Pekerja Paksa
Eksploitasi pekerja paksa bukanlah hal baru dalam sejarah Jerman. Praktik ini berkembang luas saat perang ketika Jerman mengalami kekurangan pekerja. 12 juta orang dari puluhan negara Eropa diperkirakan diringkus oleh Nazi untuk membantu Jerman. Jumlah tenaga kerja paksa bahkan mencapai 20 persen dari total angkatan kerja Jerman kala itu.
Albert Reimann Sr. dan Albert Reimann Jr. dilaporkan tidak pernah berbicara tentang Nazi setelah perang berakhir. Hanya pada awal 2000-an lah generasi muda keluarga itu mulai menyelidiki dokumen-dokumen perusahaan lama dan menemukan materi yang mengarah pada indikasi bahwa ayah dan kakek mereka terlibat dalam praktik keji Nazi.
Pada 2014, keluarga itu meminta Paul Erker, seorang sejarawan ekonomi di Universitas Munich, untuk mendokumentasikan sejarah keluarga. Penelitian Erker masih berlangsung. Apa yang muncul sejauh ini berasal dari presentasi sementara yang ia berikan awal tahun ini, kata Harf.
Hasil akhir penelitian itu rencananya bakal dipublikasi tahun depan ketika rampung. Pihak keluarga rencananyakan akan menyumbangkan US$11,3 juta atau sekitar Rp160,2 miliar untuk amal.
Keluarga Reimann bukan satu-satunya yang menikmati kebijakan kerja paksa Nazi. Daftar perusahaan asal Jerman yang mendulang utung di atas derita korban kekejian rezim Hitler cukup panjang.
Perusahaan otomotif Jerman, Daimler adalah salah satu yang menguak catatan kelam bisnis mereka. Perusahaan pembuat Mercedes itu menggunakan hampir 40.000 pekerja paksa menjelang akhir perang.
Hal serupa juga dialami Volkwagen, perusahaan itu diketahui memanfaatkan jasa 12.000 pekerja paksa. Termasuk orang-orang dari kamp konsentrasi yang dikurung di kamp khusus perusahaan.