Bisnis.com, JAKARTA - Selandia Baru akan melarang kepemilikan semua jenis senjata api semi-otomatis bergaya militer dan senapan serbu (rifle) setelah serangan Christchurch pekan lalu.
Perdana Menteri Jacinda Ardern mengatakan, undang-undang baru tentang aturan tersebut diharapkan akan mulai berlaku pada 11 April mendatang.
"Enam hari setelah serangan ini, kami mengumumkan larangan terhadap semua semi-otomatis gaya militer (MSSA) dan senapan serbu di Selandia Baru," dikutip dari BBC, Kamis (21/3/2019).
"Komponen terkait yang digunakan untuk mengubah senjata ini menjadi MSSA juga dilarang, bersama dengan semua magasin berkapasitas tinggi."
Amnesti telah diberlakukan sehingga pemilik senjata yang terkena dampak dapat menyerahkannya, dan skema pembelian kembali akan mengikuti.
Ardern mengatakan, pembelian kembali dapat menelan biaya hingga NZ$ 200 juta (U$138 juta). Tetapi menurutnya itu adalah harga yang harus dibayar untuk memastikan keamanan masyarakat Selandia Baru.
Seperti diketahui, pelaku penembakan menggunakan senapan semi-otomatis termasuk AR-15, diyakini telah memodifikasi senjatanya dengan magasin (bagian dari senjata yang menyimpan amunisi) berkapasitas tinggi, sehingga mereka dapat menyimpan lebih banyak peluru.
Ardern mengatakan undang-undang itu akan diperkenalkan ketika parlemen duduk di pekan pertama bulan April. Setelah periode amnesti berakhir, siapapun yang memiliki senjata terlarang akan diancam denda hingga NZ$4.000 dan 3 tahun penjara.
Seperti reformasi senjata Australia pada 1996, pengecualian akan dibuat untuk petani yang membutuhkan senjata untuk pengendalian hama dan kesejahteraan hewan.
Selandia Baru telah mencoba dan gagal untuk mereformasi undang-undang senjata beberapa kali dalam dua dekade terakhir, tetapi momentum untuk perubahan sekarang luar biasa.
Survivor Kawthar Abulaban (54), yang berada di masjid Al-Noor, menyambut baik langkah pelarangan senjata itu.
"Ini hal yang baik, mengapa kita perlu memiliki senjata seperti ini di rumah kita?" katanya kepada AFP.
Pemimpin Partai Nasional oposisi Selandia Baru, Simon Bridges, mendukung perubahan itu.
"Sangat penting bagi kepentingan nasional [agar] kita menjaga warga Selandia Baru aman."