Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Persoalan Kebudayaan yang 'Tersisa' di Debat Cawapres

Isu kebudayaan dinilai tak dibahas seksama dan komprehensif oleh dua calon wakil presiden dalam debat yang digelar pekan lalu. Kebijakan yang disampaikan keduanya dinilai tak mampu menyelesaikan persoalan yang ada.
Delegasi peserta Annual Meeting IMF-World Bank Group 2018 menonton atraksi budaya di salah satu destinasi wisata di Gianyar, Bali, Sabtu (13/10)./Bisnis-Ema Sukarelawanto
Delegasi peserta Annual Meeting IMF-World Bank Group 2018 menonton atraksi budaya di salah satu destinasi wisata di Gianyar, Bali, Sabtu (13/10)./Bisnis-Ema Sukarelawanto

Bisnis.com, JAKARTA – Debat antara dua calon wakil presiden dalam ajang Pemilihan Presiden 2019, Minggu (17/3/2019), masih menyisakan ketidakpuasan terkait isu kebudayaan yang dibahas.

Kedua calon wakil presiden (cawapres) dianggap tidak memberikan jawaban mendalam dan gagal paham mengenai makna kebudayaan dalam debat putaran ketiga tersebut.

Pada debat ketiga Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019, Ma’ruf Amin dan Sandiaga Uno diberikan kesempatan untuk membahas empat isu yakni pendidikan, kesehatan, ketenagakerjaan, dan sosial-budaya. Persoalan budaya hanya sedikit dibahas Ma’ruf dan Sandiaga jika dibandingkan dengan tiga isu lain.

Selain sedikit dibahas, pembicaraan soal kebudayaan di debat kemarin pun dianggap tidak komprehensif. Anggapan itu keluar dari salah satu panelis debat ketiga Pilpres 2019, Radhar Panca Dahana.

Sang budayawan menganggap kedua cawapres salah memaknai kebudayaan sebagai hal yang bisa diukur. Padahal, baginya, budaya adalah sesuatu yang abstrak dan tidak bisa dinilai dalam bentuk uang.

Persoalan Kebudayaan yang 'Tersisa' di Debat Cawapres

Calon wakil presiden nomor urut 01 Maruf Amin dan nomor urut 02 Sandiaga Uno menyampaikan visi dan misi dalam Debat Calon Wakil Presiden Pilpres 2019 di Jakarta, Minggu (17/3/2019)./Bisnis-Felix Jody Kinarwan

Radhar secara spesifik mengomentari ide Ma’ruf mengenai rencana pengalokasian dana abadi kebudayaan. Hal ini disebutnya sebagai bentuk kesalahan pemaknaan.

Menurutnya, sebelum berbicara soal dana abadi kebudayaan, pemahaman soal budaya itu harusnya sudah dimiliki cawapres.

“Apakah yang namanya kebudayaan tuh sesuatu yang perlu dana abadi? Mungkin kalau pendidikan, kesehatan, perlu dana abadi. Yang harus dipahami dulu tuh kebudayaan itu apa. Setelah itu baru kita ketahui kedudukan kebudayaan dalam kehidupan kita secara keseluruhan itu di mana. Kalau sudah tau kedudukannya, dia bisa tahu perannya apa, fungsinya apa,” papar Radhar kepada Bisnis, Senin (18/3).

Dia menganggap dana abadi kebudayaan hanya membuat pelaku budaya di Indonesia memiliki ketergantungan terhadap pemerintah. Ketergantungan itu dianggapnya bisa merusak proses pembentukan budaya yang bebas nilai atau independen.

Budayawan, menurut Radhar, harusnya melakukan tugasnya tanpa ketergantungan kepada siapapun. Proses pembuatan karya yang independen dipandang bisa membawa kebaikan bagi pembentukan budaya masyarakat Indonesia.

“Yang namanya kebudayaan itu justru harus menegakkan independensi. Karena dengan mandiri, inisiatif publik muncul untuk turut membangun negara. Kalau semua dibuat tergantung pemerintah, inisiatif publik enggak muncul,” tuturnya.

Dana abadi kebudayaan yang sempat disinggung Ma’ruf dalam debat cawapres rencananya bisa digunakan mulai 2021. Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) Hilmar Farid mengatakan dana abadi kebudayaan dialokasikan sebagai sumber uang ketika melangsungkan kegiatan pemajuan kebudayaan.

Dalam kesempatan lain, Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) Puan Maharani menyebut dana abadi kebudayaan yang hendak dialokasikan rencananya minimal sebesar Rp5 triliun. Dana itu akan dikelola oleh Badan Layanan Umum (BLU) yang hendak dibentuk.

Persoalan Kebudayaan yang 'Tersisa' di Debat Cawapres

Pebalap MotoGP Marc Marquez memainkan angklung saat berkunjung ke Saung Angklung Udjo, Bandung, Jawa Barat, Minggu (10/2/2019)./ANTARA-M. Agung Rajasa

Kebijakan Ma’ruf dan Sandiaga
Pada debat ketiga Pilpres 2019, pembahasan soal kebudayaan muncul di segmen ketiga. Saat itu, berdasarkan hasil pengundian yang dilakukan moderator debat, pertanyaan soal kebudayaan bagi Ma’ruf dan Sandiaga berbunyi sebagai berikut:

“Hampir sepanjang usia Republik, kebudayaan ternyata belum menjadi haluan pembangunan nasional. Kebijakan kebudayaan, baik dalam anggaran maupun program, terpinggirkan. Pembangunan fisik material jauh lebih diutamakan dengan biaya sangat besar. Sebaliknya, pembangunan infrastruktur kebudayaan diupayakan secara minimal. Apa kebijakan yang akan Bapak-bapak ambil untuk mengatasi persoalan tersebut?”

Sandiaga, yang berpasangan dengan Prabowo Subianto dalam Pilpres kali ini, menjawab pertama. Dia menyebut keberpihakan pemerintah terhadap budaya bisa menciptakan lapangan pekerjaan berbasis kegiatan kebudayaan.

Sandiaga juga menyebut pembangunan kebudayaan harus dilakukan bersama pemerintah, pelaku usaha, dan akademisi. Selain itu, dia berjanji jika dirinya dan Prabowo terpilih maka kelestarian budaya akan dijaga.

“Jika kita melihat sesuatu dalam pandangan yang holistik, komprehensif, di mana kita tempatkan pembangunan budaya sebagai prioritas, saya semakin yakin Indonesia menang di bawah Prabowo-Sandi bukan hanya bisa melestarikan budaya, tapi juga menciptakan letupan-letupan ekonomi yang akan membuka lapangan kerja untuk anak-anak muda,” ucap Sandiaga.

Setelah Sandiaga, Ma’ruf mengemukakan keinginan mengoptimalkan konservasi budaya jika terpilih bersama Jokowi. Dia menyebutkan selain konservasi, langkah yang juga harus dilakukan adalah mempromosikan kebudayaan Indonesia ke luar negeri.

Persoalan Kebudayaan yang 'Tersisa' di Debat Cawapres

Sydney Opera House "ditembak" ilustrasi bernuansa Aborigin dalam pembukaan Festival Vivid Sydney di Sydney, Australia, Jumat (27/5/2016)./Reuters-Jason Reed

Untuk mendukung rencana itu, Ma’ruf menyebut akan ada dana abadi kebudayaan yang disediakan pemerintah. Dia juga berjanji akan membangun gedung opera besar seperti yang ada di Sydney, Australia.

“Karena itu, pemerintah sekarang sudah membentuk Bekraf [Badan Ekonomi Kreatif]. Dengan Bekraf, kita akan mengembangkan kebudayaan dan kita adakan festival kebudayaan di berbagai negara di dunia. Ini adalah cita-cita besar yang ingin kami kemukakan,” ungkap Ma’ruf.

Dalam sesi debat setelahnya, Sandiaga menyindir fokus pembangunan pemerintahan Jokowi dan Jusuf Kalla di bidang infrastruktur. Dia berjanji akan mengedepankan pembangunan manusia dan kebudayaan jika terpilih bersama Prabowo.

Setelahnya, Ma’ruf berbicara soal keinginannya dan Jokowi menjadikan toleransi dan gotong royong sebagai nilai-nilai kehidupan masyarakat. Dia menyebut pentingnya pelestarian budaya lokal di Indonesia agar nilai-nilainya bisa diterapkan di kehidupan sehari-hari.

Bukan Infrastruktur Material
Radhar mengakui pembangunan kebudayaan bisa dilakukan dalam bentuk fisik seperti penyediaan ruang publik, pertunjukan, ruang ekspresi kultural dan agama di daerah. Tetapi, dia memandang hal yang lebih penting dilakukan adalah pembangunan non fisik.

Idealnya, pembangunan kebudayaan dilakukan dengan mengedepankan pembentukan gagasan dan nilai, norma, etika, serta estetika yang baik di masyarakat. Setelah itu terbentuk, produk-produk fisik hasil penanaman gagasan dan nilai yang baik diyakini terwujud.

Persoalan Kebudayaan yang 'Tersisa' di Debat Cawapres

Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo sebagai Prabu Anggalarang (kedua kanan), Direktur Bank BCA Vera Eve Lim sebagai Permaisuri Tantriwulan (kanan) dan Direktur Ritel Sarinah Lies Permana (kedua kiri) bermain dalam Pergelaran Ketoprak Finansial lakon Prabu Siliwangi, di Gedung Usmar Ismail, Jakarta, Jumat (8/3/2019)./Bisnis-Felix Jody Kinarwan

“Produknya ya itu, ada televisi, koran, tempe bacem, tari piring, itu produk kebudayaan, bukan kebudayaannya. Jadi kalau mau bikin [gedung] opera, itu produk, tapi dia tidak meninggikan kebudayaan,” lanjut Radhar.

Dia menganggap saat ini, kebudayaan di Indonesia sudah berada di titik nadir. Fakta banyaknya perilaku politik yang tidak beretika, perbuatan korupsi, hingga cara berkendara masyarakat di jalan raya disebut sebagai jalan masuk melihat krisis kebudayaan itu.

Saat ini, masyarakat dipandang hanya bisa menghasilkan karya-karya yang nilainya diambil dari negara-negara lain. Kondisi ini muncul akibat kurangnya perhatian pemerintah untuk melestarikan atau memajukan kebudayaan sesuai khas masyarakat Indonesia.

“Jangan dianggap itu [pembangunan kebudayaan] cost. Negara menganggap ‘ngapain biayai kerja-kerja kesenian, bikin pameran, pertunjukan, gunanya apa bagi daerah, enggak ada manfaatnya.’ Nah, cara berpikir itu keliru, karena kebudayaan bukan cost tapi investasi yang enggak bisa dilihat hasilnya dalam jarak dekat,” tegas Radhar. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Lalu Rahadian
Editor : Annisa Margrit
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper